Powered by Blogger.
RSS

Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB P2) sebagai Pajak Daerah serta Kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan usaha terencana dan terarah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia yang menuntut adanya perubahan sosial budaya sebagai pendukung keberhasilannya dan menghasilkan perubahan sosial budaya. Pembangunan nasional adalah suatu harapan untuk rakyat Indonesia yang mencita-citakan Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera baik secara moral maupun spiritual.
Pemerintah Indonesia melakukan perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Perubahan tersebut memberikan harapan yang besar bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sistem desentralisasi ini dilaksanakan dengan melalui kebijakan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pemerintah daerah melaksanakan roda pemerintahan secara mandiri, tetapi tetap melakukan kordinasi dan pengawasan dari pemerintah pusat. Diharapkan dengan otonomi daerah ini, bisa membuat pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya. Pemerintah daerah bisa dengan cepat melakukan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat tanpa menunggu arahan dari pemerintah pusat.
Salah satu hal yang sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan pada otonomi daerah yaitu masalah pendanaan. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Kebijakan fiskal ini memberikan pengaruh yang signifikan dalam pengelolaan pemerintahan secara mandiri ketika pemerintah daerah memaksimalkan kebijakan ini untuk mengoptimalkan pendapatan dari daerahnya sendiri. Adanya kebijakan desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali dan mengoptimalkan sumber daya yang ada di daerahnya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Konsekuensi dilaksanakannya otonomi daerah ini adalah diberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kewenangan yang lebih besar ini akan membutuhkan biaya yang begitu besar. Diharapkan dengan banyaknya biaya yang dibutuhkan ini, pemerintah daerah tidak bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah diharapkan dapat  mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada daerahnya agar tidak terlalu bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Salah satu langkah yang dapat diambil yaitu melalui kebijakan fiskal. Kebijaksanaan fiskal berarti penggunaan pajak, pinjaman masyarakat, pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi atau pembangunan.
Kebijakan fiskal khususnya perpajakan bisa membantu dalam menopang jalannya otonomi daerah, maka pemerintah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Undang-Undang ini merupakan salah satu langkah pemerintah pusat dalam membantu pelaksanaan otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan desentralisai fiskal dalam bidang perpajakan. Hal itu ditunjukkan dengan pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut.
 Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini, maka seluruh kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) menjadi salah satu sumber pendapatan yang sangat potensial bagi daerah (kabupaten/kota).
Pengalihan pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah mempunyai kekuasaan penuh untuk mengelola hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) tanpa di bagi kepada pemerintah pusat. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dan meningkatkan pelayanan publik serta penyelenggaran pemerintahan. Selain itu juga dengan adanya kebijakan ini diharapkan pemerintah daerah menjadi lebih mandiri dalam pembiayaannya.
Pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 tidak langsung dilakukan serentak di seluruh kabupaten/kota di Indonesia melainkan dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011 hanya kota Surabaya yang telah mendapat pengalihan atas pengelolaan PBB P2. Tahun 2012, ada 17 kabupaten/kota yang menyatakan diri siap untuk mengelola PBB P2. Sebanyak 105 kabupaten/kota menyatakan siap untuk mengelola PBB P2 pada tahun 2013 dan 369 kota/kabupaten lainnya yang belum menerima pengalihan PBB P2, pada tahun 2014 seluruh kabupaten/kota di Indonesia sudah sepenuhnya melakukan pengelolaan PBB P2.
Kota Semarang merupakan salah satu kota yang menerima pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah pada tahun 2012. Pemungutan PBB P2 dilaksanakan oleh pemerintah kota mulai tahun 2012 atas dasar Perda Nomor 13 tahun 2011 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.  Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang sebagai dinas daerah yang diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola penerimaan daerah yang berasal dari pos penerimaan daerah. Pemerintah setiap tahunnya memiliki target dalam penerimaan PBB P2 sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Dibawah ini merupakan target penerimaan PBB P2 Kota Semarang.
Tahun
Target Sebelum Perubahan APBD
Target Setelah Perubahan APBD
2012
Rp. 175.000.000.000
Rp. 159.000.000.000
2013
Rp. 175.000.000.000
Rp. 170.000.000.000
Tabel 1. Target Penerimaan PBB P2 Kota Semarang Sebelum dan Setelah Perubahan APBD





Sumber: APBD Sebelum dan Setelah Perubahan Kota Semarang Tahun 2012-2013
Adanya kekurangsiapan Pemerintah Kota Semarang dalam melaksanakan pengalihan PBB Perkotaan menyebabkan kurang maksimalnya realisasi penerimaan yang tidak bisa mencapai target yang telah ditentukan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan target berupa penurunan ketetapan target dalam pengelolaan PBB Perkotaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang pada tahun 2012-2013. Realisasi penerimaan pajak terkadang tidak sesuai dengan  target yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah sehingga diperlukan adanya penilaian efektivitas untuk melihat keberhasilan pemungutan PBB P2 sebagai pajak daerah sehingga diharapkan  mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap PAD.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis mengangkat judul “Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB P2) Sebagai Pajak Daerah serta Kontribusinya Terhadap  Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan pengalihan PBB P2 sekaligus membahas efektivitas serta kontribusinya bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan yaitu
1.      Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah di Kota Semarang?
2.      Bagaimana efektivitas pemungutan PBB P2 sebagai pajak daerah di Kota Semarang?
3.      Bagaimana kontribusi PBB P2 terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Semarang tahun 2012 dan 2013 ?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan pengalihan pajak bumi bangunan perdesaan perkotaan sebagai pajak daerah di Kota Semarang
2.      Untuk mengetahui kontribusi pengalihan PBB P2 pada Penerimaan Asli Daerah kota Semarang tahun 2012 dan 2013.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah
1.      Bagi mahasiswa untuk menambah khasanah bacaan sekaligus sebagai bahan kajian selanjutnya.
2.      Bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pengalaman analisis kebijakan, karya ilmiah dan mengaplikasikan teori-teori yang sudah di dapat di bangku perkuliahan.
3.      Bagi Pemerintah sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pemerintah untuk penetapan kebijakan yang akan datang yang akan berkaitan dengan perpajakan.












BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1  Desentralisasi fiskal
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan Negara. Untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan. Besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom akan menciptakan iklim pemerintahan daerah yang merata di masyarakat (Farida, 2011:348-349).

2.2  Pajak
Menurut Guritno, pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogative pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukan penggunaannya.
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi (Mardiasmo 2011 : 1), yaitu :
1.       Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2.      Fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.




2.3  Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Menurut undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah
a.         jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan.
b.        jalan tol
c.         kolam renang
d.        pagar mewah;
e.          tempat olahraga;
f.          galangan kapal, dermaga;
g.         taman mewah;
h.        tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas,
i.          pipa minyak; dan
j.           menara.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).

2.4         Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim (2004:94) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri dari:
a.       Hasil pajak Daerah.
b.      Hasil retribusi Daerah.
c.       Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan.
d.      lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerahnya sendiri. Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengoptimalkan penerimaan pendapatan daerahnya. Hal tersebut sebagai upaya untuk menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda (otonomi daerah) sebagai perwujudan asas desentralisasi.
2.5         Efektifitas Pemungutan PBB P2
Mardiasmo (2009:132) menjelaskan efektivitas merupakan kontribusi output terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan spending wisely (sasaran akhir kebijakan). Mardiasmo (2009:132) menjelaskan indikator efektivitas menggambarkan jangkauan akibat dan dampak (outcome) dari keluaran (output) program dalam mencapai tujuan program. Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan, maka semakin efektif proses kerja yang dilakukan suatu unit organisasi. Selanjutnya, Halim (2004:164) mengemukakan tingkat efektivitas dapat diketahui dari hasil hitung formula efektivitas. Formula untuk mengukur efektivitas terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara realisasi pajak dengan target pajak:
Tabel 2. Kriteria Penilaian Efektivitas
Prosentase
Kriteria
Di atas 100%
Sangat efektif
90-100%
Efektif
80-90%
Cukup efektif
60-80%
Kurang efektif
Kurang dari 60%
Tidak efektif
Sumber: Munir, (2004:49).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kontribusi yang dihasilkan oleh output (keluaran) terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya, dengan mengetahui efektivitas intensifikasi pemungutan PBB-P2, organisasi diharapkan mampu untuk menilai tingkat keberhasilannya dalam mencapai tujuan yang telah ditargetkan sebelumnya.
2.6         Kontribusi PBB P2 terhadap PAD
Menurut Guritno (1992:76) kontribusi adalah sesuatu yang diberikan secara bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sedangkan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia kontribusi adalah sumbangan. Sehingga kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaaan (PBB-P2) terhadap besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Halim (2004:163) merumuskan formula untuk menghitung tingkat kontribusi PBB-P2 terhadap PAD adalah:

Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan realisasi PBB-P2 terhadap PAD, dapat diketahui besarnya kontribusi PBB-P2 terhadap PAD. Semakin tinggi kontribusi PBB-P2 terhadap PAD, maka akan mendorong meningkatnya PAD. Berikut ini penilaian kriteria kontribusi PBB-P2 terhadap PAD:
Tabel 3. Interpretasi Nilai Kontribusi PBB-P2 Terhadap PAD
Prosentase
Kriteria
Rasio 0,00 – 10,00%
Sangat Kurang
Rasio 10,10 – 20,00%
Kurang
Rasio 20,10 – 30,00%
Sedang
Rasio 30,10 – 40,00%
Cukup
Rasio 40,10 – 50,00%
Baik
Rasio di atas 50,00%
Sangat Baik
Sumber: Tim Litbang Pemdagri Fisipol UGM, 1991 (Mariana, 2005).

2.7         Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan terhadap makalah ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ferian Dana Pradita dkk, yang berjudul “Efektivitas Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya”. Hasil penelitian tersebut adalah efektifitas intensifikasi dari PBB P2 di Kota Surabaya termasuk dalam criteria cukup efektif. Realisasi penerimaan PBB Perkotaan dari tahun 2011-2013 menunjukan peningkatan setiap tahunnya, namun peningkatan tersebut juga diiringi oleh peningkatan penerimaan PAD Kota Surabaya, sehingga jika dilihat dari besarnya prosentase kontribusi PBB Perkotaan terhadap PAD Kota Surabaya menunjukan penurunan dari tahun 2011-2013.
Penelitian kedua dilakukan oleh Voni Lestari dengan judul  “Analisis Pengaruh Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (PBB P2) terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Kota Kediri Tahun 2012 Dan 2013”. Hasil dari penelitian tersebut pengalihan PBB P2 menaikkan pendapatan asli kota Kediri.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Ida Ayu Metha Apsari Prathiwi, Nyoman Trisna Herawati,  Ni Luh Gede Erni Sulindawati dalam jurnal yang berjudul “Analisis Strategi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (Pbb P2) Serta Efektivitas Penerimaannya Di Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2013-2014”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kendala yang dialami oleh pemerintah kota Denpasar adalah karena PBB P2 merupakan pajak baru sehingga pemda mengalami kesulitan dalam pengelolaannya, aplikasi SISMIOP yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak berjalan dengan baik, sarana dan prasarana yang kurang memadai serta membutuhkan biaya yang besar, serta sumber daya manusia yang tidak optimal dalam memberikan pelayanan. Pemerintah kota Denpasar melakukan tiga tahapan strategi yaitu tahap perencanaan strategi, pelaksanaan strategi, dan evaluasi strategi. Penerimaan PBB P2 kota Denpasar tergolong sangat efektif dengan presentase di atas seratus persen.






BAB III
PEMBAHASAN
3.1         Pelaksanaan Kebijakan Peralihan PBB P2 sebagai Pajak Daerah di Kota Semarang
Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah di bentuk dalam rangka meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Daerah telah diberikan kewenangan untuk memungut pajak (taxing power). Ada empat perubahan fundamental yang diatur dalam undang-undang tersebut. Salah satu diantara perubahan tersebut adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah, penambahan jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah dan pemberian diskresi kepada daerah untuk menetapkan tarif sesuai dengan batas tarif maksimum dan minimum yang telah ditentukan.
Diterbitkannya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009, pemerintah daerah mempunyai tambahan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru, sehingga jenis pajak kabupaten atau kota bertambah dari tujuh menjadi sebelas jenis pajak. Penambahan pos pajak dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota pada UU No.34/2000 dengan UU No. 28/2009
UU No.34 tahun 2000
UU No.28 Tahun 2009
1.      Pajak Hotel
2.      Pajak restoran
3.      Pajak hiburan
4.      Pajak reklame
5.      Pajak penerangan jalan
6.      Pajak parkir
7.      Pajak pengambilan bahan galian Gol.C
1.      Pajak Hotel
2.      Pajak restoran
3.      Pajak hiburan
4.      Pajak reklame
5.      Pajak penerangan jalan
6.      Pajak parkir
7.      Pajak material bukan logam dan batuan
8.      Pajak air tanah
9.      Pajak sarang burung wallet.

Salah satu jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah adalah Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pada awalnya PBB P2 merupakan pajak pusat yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Namun  untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khususnya dari penerimaan PBB, maka paling lambat pada tanggal 1 Januari 2014 seluruh proses pengelolaan PBB-P2 akan dilakukan oleh pemda. Sedangkan, PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih tetap menjadi pajak pusat.
Adapun alasan pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara lain:
a.       PBB-P2 dapat dipungut oleh daerah karena lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile),dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut.
b.      Pengalihan PBB-P2 kepada daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD dan memperbaiki struktur APBD.
c.        Pengalihan PBB-P2 kepada daerah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.
d.      Berdasarkan praktek di banyak negara, PBB-P2 termasuk dalam jenis local tax.
Tujuan dari dialihkannya PBB P2 dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah menambah jenis pajak di daerah. Dengan bertambahnya jenis pajak di daerah diharapkan Pemerintah Daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Pemerintah Daerah juga memiliki kewenangan dalam penetapan tarif PBB P2 yang dituangkan dalam Perda di daerah masing-masing. Serta menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah yang merupakan cerminan dari desentralisasi fiskal. Dengan pengelolaan PBB P2 sebagai pajak daerah diharapkan pengelolaan dapat dilaksanakan dengan optimal karena Pemerintah Daerah lebih dekat pada masyarakatnya sehingga lebih memahami karakteristik serta keadaan di wilayahnya bila dibandingkan dengan Pemerintah Pusat, serta dapat meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pengalihan PBB P2 dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah memberikan banyak keuntungan bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola daerahnya secara otonom.
Penerimaan PBB-P2 setelah adanya pengalihan ke pemda akan sepenuhnya masuk ke pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 %. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah (www.pajak.go.id).
Dikota Semarang pemungutan PBB P2 dilaksanakan oleh Pemerintah Kota mulai Tahun 2012 atas dasar Perda Nomor 13 Tahun 2011 Sebagai Turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Definisi PBB Perkotaan menurut Perda tersebut adalah “pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan”. Peraturan Daerah tentang PBB Perkotaan tersebut dibentuk sebagai operasionalisasi serta sebagai syarat yang harus disiapkan apabila melakukan pemungutan PBB P2 secara mandiri oleh Pemerintah Kota Semarang. Dengan adanya Peraturan Daerah tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pelayanan umum. Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang sebagai dinas daerah yang diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola penerimaan daerah yang berasal dari pos penerimaan daerah. Pemda memiliki kewenangan dalam kegiatan yang terkait dengan PBB-P2 menjadi milik Pemerintah Daerah, hal itu meliputi proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan terkait PBB P2.
Pada pelaksanaanya masih terdapat kendala dalam pemungutan PBB P2 di kota Semarang. Kurangnya kesiapan daerah dalam transisi perpindahan pajak pusat menjadi pajak daerah sehingga menjadikan kurang maksimalnya penerimaan pajak didaerah. Pemerintah Kota Semarang belum memiliki sarana dan prasarana yang sesuai untuk menunjang perolehan penerimaan PBB P2 seperti sistem database Wajib Pajak, gedung pelayanan PBB, pengorganisasian petugas untuk menangani pelayanan PBB, serta hal-hal yang bersifat teknis yang penting dalam penyelenggaraan pemungutan PBB Perkotaan. Selain sarana dan prasarana, kesiapan sumberdaya manusia dalam hal pengelolaan PBB didaerah juga masih kurang. Petugas penarik pajak tersebut memerlukan pendidikan  dan pengelolaan PBB P2  yang tergolong masih baru di daerah.(Aji 2014:3)
Dalam menjalankan kewenangannya, pemeritah kota Semarang memiliki target pencapaian penerimaan PBB P2. Akan tetapi target tersebut mengalami perubahan pasca di berlakukannya Undang-Undang PDRD dan Perda Kota Semarang Nomor 13 Tahun 2011.
Tahun
Target Sebelum Perubahan APBD
Target Setelah Perubahan APBD
2012
Rp. 175.000.000.000
Rp. 159.000.000.000
2013
Rp. 175.000.000.000
Rp. 170.000.000.000
Tabel 5. Target  PBB Perkotaan Kota Semarang Sebelum dan Setelah Perubahan APBD Tahun 2012 dan 2013
Sumber:  Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang Tahun 2013

Target penerimaan sebelum adanya perubahan APBD Pada tahun 2012 dan 2013 adalah 175 milyar rupiah, akan tetapi setelah perubahan APBD kota Semarang  target penerimaan PBB perkotaan diturunkan menjadi 159 milyar rupiah pada tahun 2012 dan 170 milyar rupiah pada tahun 2013. Penyebab penurunan target penerimaan PBB perkotaan tersebut adalah kurang siapnya pemerintah Kota Semarang dalam melaksanakan pengalihan PBB P2 sehingga realisasi target tidak bisa mencapai target yang telah di tentukan. Penurunan target penerimaan tersebut sebenarnya tidak seharusnya dilakukan. Diberlakukannya undang-undang dan perda tersebut pemda memiliki kewenangan penuh untuk mengoptimalkan pemungutan PBB P2 sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih terhadap PAD Kota Semarang karena pemerintah kota dapat mengelola secara mandiri PBB Perkotaan.
3.2         Efektivitas Pemungutan PBB P2 di Kota Semarang
Salah satu indikator keberhasilan dalam melaksanakan pemungutan pajak adalah tercapainya rencana target penerimaan yang telah ditetapkan. Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pemungutan pajak maka dilakukan penilaian efektivitas terhadap pemungutan PBB P2. Efektivitas merupakan suatu penilaian terhadap proses untuk mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat efektivitas penerimaan PBB P2 Kota Semarang dapat dilakukan dengan membandingkan antara target yang telah ditentukan dengan realisasi penerimaan PBB P2 pada tahun yang sama.
Tabel 6. Target, Realisasi dan Efektivitas Penerimaan PBB Perkotaan Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013

Tahun
Target
Realisasi
Efektivitas
2012
Rp. 159.000.000.000
Rp 161.334.468.066
101.46 %
2013
Rp. 170.000.000.000
Rp 185.173.747.490
108.95%
Sumber:  Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang Tahun 2013

Kota Semarang pada tahun pertamanya melaksanakan pemungutan PBB Perkotaan menetapkan target penerimaan sebesar 175 Miliar, akan tetapi ketetapan target tersebut dilakukan perubahan diturunkan sebesar 16 Miliar menjadi sebesar 159 Miliar. Dengan ketetapan target yang lebih rendah dari ketetapan target awal Pemerintah Kota Semarang berhasil melampaui target yang ditetapkan dengan presentase 101,46% atau sebesar Rp 161.334.468.066 dari target 159 Miliar.
Pada tahun 2013 realisasi penerimaan pajak PBB perkotaan kota Semarang adalah sebesar Rp 185.173.747.490. Realisasi penerimaan pajak tersebut telah melampaui target yang telah di tetapkan baik target awal yaitu 175 milyar maupun target perubahan sebesar 170 milyar dengan presentase efektivitas sebesar 108.95% dari target perubahan.
 Besarnya realisasi penerimaan PBB P2 Kota Semarang pada tahun 2013 juga disebabkan karena adanya upaya-upaya yang dilaksanakan pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan realisasi penerimaan PBB Perkotaan. Kota Semarang lebih cenderung mengunakan upaya-upaya preventif dalam pelaksanaan pemungutannya. Upaya preventif merupakan tindakan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi atau mencegah sebelum terjadi. Dalam hal ini upaya preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya tunggakan pembayaran PBB Perkotaan agar pembayaran dilaksanakan sebelum masa jatuh tempo pembayaran. Sehingga wajib pajak tidak mendapatkan sanksi, baik sanksi yang ringan yakni sanksi administratif sampai dengan sanksi yang paling berat yakni dilakukan penyitaan. Upaya tersebut berupa program atau kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan realisasi penerimaan antara lain pekan panutan, operasi bhakti, operasi sisir, program undian berhadiah untuk wajib pajak PBB Perkotaan, serta kegiatan lainnya.(Aji 2013:11)
Pekan Panutan merupakan salah satu bentuk kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan di Kota Semarang. Kegiatan ini diikuti oleh para wajib pajak baik dari jajaran Pemerintah Kota Semarang, pengusaha maupun warga masyarakat. Kegiatan Pekan Panutan dilaksanakan lebih awal sebelum jatuh tempo pembayaran dengan sasaran memberikan keteladanan atau panutan kepada wajib pajak PBB Perkotaan untuk melakukan pembayaran PBB tepat pada waktunya. Para pejabat publik yang diharapkan dapat menjadi panutan serta tauladan dalam melaksanakan pembayaran PBB sebelum jatuh tempo dimulai dari lurah, camat, serta jajaran pejabat Pemerintah Kota Semarang.
Upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan yang dilaksanakan DPKAD adalah dengan melaksanakan kegiatan operasi bhakti yang bertujuan untuk mempermudah wajib pajak dalam melakukan pembayaran pajak terutangnya sebelum masa jatuh tempo, hal ini dilakukan dengan cara mendekatkan tempat pembayaran kepada wajib pajak. Petugas dari DPKAD lebih cenderung bersifat aktif dalam melaksanakan pemungutan dengan berkeliling ditempat-tempat yang telah ditentukan sebelumnya.
Kegiatan lain yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengoptimalkan penerimaan PBB Perkotaan di Kota Semarang adalah operasi sisir. Sistem kerja dari operasi sisir diadopsi dari sistem operasi bhakti, namun operasi sisir dilaksanakan setelah jatuh tempo pembayaran atau 6 bulan setelah diterimanya SPPT PBB Perkotaan. Wajib pajak diberikan kemudahan dalam melaksanakan pembayaran PBB dengan mendekatkan tempat pembayaran sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Perbedaan lain dari operasi sisir ini adalah masyarakat yang melaksanakan pembayaran PBB dikenakan sanksi 2% perbulan selama maksimal 24 bulan. Hal ini dikarenakan atas dasar aturan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang yang mengatur sanksi bagi wajib pajak yang terlambat melaksanakan pembayaran pajak terutangnya.
Program undian berhadiah untuk wajib pajak PBB Perkotaan memang menjadi salah satu kegiatan baru dari Pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan. Kegiatan ini dimulai pada tahun 2012 yang sifatnya mengajak para wajib pajak PBB Perkotaan untuk melaksanakan pembayaran sebelum masa jatuh tempo. Sebagai salah satu bentuk penghargaan bagi wajib pajak yang telah melaksanakan pembayaran sebelum jatuh tempo, Pemerintah Kota Semarang memberikan reward atau hadiah berupa kesempatan mengikuti undian berhadiah yang dilaksanakan Pemerintah Kota Semarang.
Selain upaya-upaya yang bersifat internal yang dilaksanakan pada jajaran Pemerintah Kota Semarang. Juga dilaksanakan upaya lain yang melibatkan masyarakat. Salah satunya adalah dengan melakukan koordinasi ditingkat kelurahan dan kecamatan agar menjadikan bukti setoran pembayaran pajak bumi dan bangunan perkotaan sebagai salah satu syarat dapat dilaksanakannya pelayanan-pelayanan administratif di tingkat kelurahan dan kecamatan, dengan demikian bagi setiap warga masyarakat yang menginginkan pelayanan administratif dari instansi tersebut wajib melampirkan bukti setoran pembayaran PBB sebagai syaratnya.
 Pencapaian target yang selalu melebihi 100% ini menunjukan bahwa pemerintah kota semarang sudah sangat efektif dalam pemungutan PBB P2.  Akan tetapi adanya penurunan target dari target awal menjadikan pemda kurang bisa mengoptimalkan penerimaan PBB P2 sebagai Pajak daerah.

3.3         Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang
Adanya pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah ini salah satunya bertujuan untuk memperluas objek pajak daerah sehingga diharapkan akan menambah pendapatan asli daerah karena 100% hasil pendapatan dari PBB P2 tersebut akan masuk ke daerah. Dengan adanya kenaikan pada PAD diharapkan daerah lebih mandiri dan mampu dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Dibawah ini adalah tabel kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang.
Tabel 7. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang
Tahun
Realisasi PBB Perkotaan
Realisasi PAD
Kontribusi PBB P2 terhadap PAD
2012
Rp 161.334.468.066
Rp 786.563.411.659
20.51 %
2013
Rp 185.173.747.490
Rp 930.577.133.513
19.89 %
Sumber: Data diolah, 2013.
Adanya pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah menjadikan penerimaan asli daerah dari sektor pajak menjadi bertambah. Pada tahun 2012 realisasi PBB P2 adalah Rp 161.334.468.066 sedangkan realisasi PAD nya adalah Rp 786.563.411.659. pada tahun 2013 realisasi PBB P2 adalah Rp 185. 173.747.490 sedangkan PADnya Rp 930.577.133.513. Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan realisasi PBB-P2 terhadap PAD Kota Semarang, dapat diketahui besarnya kontribusi PBB-P2 terhadap PAD Kota Semarang. Semakin tinggi kontribusi PBB-P2 terhadap PAD, maka akan mendorong meningkatnya PAD Kota Semarang. Pada tahun 2012 kontribusi PBB P2 terhadap PAD adalah 20.51% sedangkan pada tahun 2013 kontribusinya adalah 19.89%. Pada tahun 2013 terjadi penurunan kontribusi PBB terhadap PAD. Penurunan kontribusi ini bukan berasal dari realisasi penerimaan PBB sektor perkotaan yang mengalami penurunan, akan tetapi kenaikan realisasi penerimaan PBB P2 juga diikuti oleh kenaikan PAD. Kenaikan PAD tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan yang cukup tinggi dari penerimaan retribusi daerah dan lain-lain PAD yang Sah. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD kota Semarang sebesar 20,21 % dan 18,28% ini berarti bahwa kontribusi PBB P2 terhadap pembentukan PAD kota Semarang berada pada kriteria kurang dan sedang. Hal ini menujukan bahwa, pendapatan dari pos-pos pendapatan lain seperti retribusi daerah, pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah lebih berkontribusi terhadap pembentukan PAD kota Semarang.
Pada bulan Februari 2015, muncul wacana bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan memberlakukan bebas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah huni, tempat ibadah, dan bangunan sosial mulai tahun 2016. Rencana pembayaran PBB setiap tahun hanya akan dikenakan terhadap bangunan komersil seperti rumah toko, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan restoran. Hal ini disebabkan karena hunian setiap tahun membebani masyarakat penghuni nonkomersil. Pemerintah hanya akan memungut biaya terhadap masyarakat saat awal pembelian lahan tanah atau sewa huni. Jika hal tersebut benar terjadi, maka dapat dipastikan penerimaan PBB akan berkurang. Hal ini tentunya akan mengurangi pendapatan asli daerah dan juga kontribusi PBB terhadap PAD akan semakin kecil sehingga akan mengurangi kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Disisi lain pengahapusan PBB untuk hunian non komersil tersebut akan menguntungkan masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu karena mereka tidak harus membayar pajak. Untuk itu pemerintah diharapkan mengkaji lebih lanjut perihal rencana penghapusan PBB untuk hunian non komersil. Pemerintah diharapkan tidak gegabah dalam mengambil kebijakan mengingat substansi pemungutan pajak adalah untuk dikembalikan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. 











BAB IV
PENUTUP
4.1  Simpulan
1.      Kebijakan peralihan PBB P2 menjadi pajak daerha merupakan  kebijakan yang didasarkan pad undang-undang No 28 tahun 2009 yang bertujuan memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah, menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah), memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah, dan menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.
2.      Kota semarang mulai melakukan peralihan PBB P2 sebagai pajak daerah mulai tahun 2012, akan tetapi pada pelaksanaanya masih terdapat kendala yaitu belum siapnya pemda dalam melakukan pemungutan PBB P2. Hal tersebut menjadikan realisasi target sulit dicapai sehingga pemda melakukan perubahan target pencapaian dalam APBD nya.
3.      Realisasi penerimaan PBB P2 kota Semarang sudah termasuk dalam criteria yang efektif karena realisasinya telah melebihi target perubahan yang telah ditetapkan yaitu sebesar 101,46% pada tahun 2012 dan 108.95% pada tahun 2013.
4.      Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang dari tahun 2012-2013 persentasenya menunjukan penurunan. Penurunan tersebut terjadi bukan karena realisasi penerimaan PBB P2 yang menurun. Namun peningkatan realisasi PBB P2 juga diiringi oleh peningkatan PAD. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD kota Semarang sebesar 20,21 % dan 18,28% ini menunjukan bahwa kontribusi PBB P2 terhadap pembentukan PAD kota Semarang berada pada kriteria kurang dan sedang.

4.2  Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka diperlukan saran dan rekomendasi untuk meningkatkan kualitas pemungutan PBB Perkotaan di Kota Semarang, dan rekomendasi tersebut berupa:
1.      Dalam pelaksanaan pemungutan PBB Perkotaan memerlukan sarana dan prasarana yang menunjang keberhasilannya dengan tujuan dapat tercapainya target penerimaan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu Pemerintah Kota Semarang harus menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dalam proses pengalihan PBB Perkotaan yang tidak dipersiapkan dengan baik seperti software aplikasi PBB, ruang arsip, dan gedung untuk pelayanan PBB.
2.      Perlu ditingkatkannya aturan legalitas pemungutan PBB Perkotaan ditingkat kelurahan dan kecamatan untuk mendukung upaya Pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan.
3.      Pemerintah harus lebih kreatif lagi dalam menarik perhatian wajip pajak untuk membayarkan pajak agar penerimaan pajaknya dapat lebih optimal lagi.



















DAFTAR PUSTAKA
Aji, Mohamad Nur I. 2014. “Analisis Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Semarang Tahun 2012-2013”. Jurnal Ilmu Pemerintahan: Universitas Diponogoro yang di unduh melalui http://download.portalgaruda.org/article.php?article=150682&val=4924&title=Analisis%20Pemungutan%20Pajak%20Bumi%20dan%20Bangunan%20Perkotaan%20di%20Kota%20Semarang%20Tahun%202012-2013 pada 9 maret 2015 pukul 04.00 WIB
Anonim.2013. LKPJ Walikota Semarang Tahun 2013.diunduh melalui http://beta.semarangkota.go.id/content/image/files/3.%20BAB%203%20Keuangan%20Draft%20LKPJ%202013.pdf pada 10 Maret Pukul 04.43 WIB.
Badan Pusat Statistik.2013.Kota Semarang Dalam Angka 2012. Semarang:  BPS Kota Semarang
Badan Pusat Statistik.2014.Kota Semarang Dalam Angka 2013. Semarang:  BPS Kota Semarang
Direktorat Jenderal Pajak.2012. “Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Pbb-P2) Sebagai Pajak Daerah”. Diakses melalui :http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan
Farida, Ai Siti. 2011. Sistem Ekonomi Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
Guritno. 1992. Kamus Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah :Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta, Erlangga.
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta:ANDI.
------------. 2011. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: ANDI.
Pradita,dkk. 2014. Efektivitas Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta KontribusinyaTerhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya. Jurnal  Fakultas Ilmu Administrasi: Universitas Brawijaya
Prathiwi,dkk. 2015.Analisis Strategi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (Pbb P2) Serta Efektivitas Penerimaannya Di Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2013-2014. Dalam e-Journal S1 Akuntansi Volume 3, No.1 Tahun 2015: Universitas Pendidikan Ganesha.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 comments:

Irfan Syamda, S.E.Sy. said...

rumus efektivitas PBB bagaimana?

Post a Comment