BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan usaha terencana dan terarah
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia yang menuntut adanya perubahan
sosial budaya sebagai pendukung keberhasilannya dan menghasilkan perubahan
sosial budaya. Pembangunan nasional adalah suatu harapan untuk rakyat Indonesia
yang mencita-citakan Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera baik secara
moral maupun spiritual.
Pemerintah Indonesia melakukan perubahan sistem
pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Perubahan
tersebut memberikan harapan yang besar bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan
kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sistem desentralisasi ini
dilaksanakan dengan melalui kebijakan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah
membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya
sendiri. Pemerintah daerah melaksanakan roda pemerintahan secara mandiri,
tetapi tetap melakukan kordinasi dan pengawasan dari pemerintah pusat.
Diharapkan dengan otonomi daerah ini, bisa membuat pemerintah lebih dekat
dengan masyarakatnya. Pemerintah daerah bisa dengan cepat melakukan
kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat tanpa menunggu arahan dari
pemerintah pusat.
Salah satu hal yang sangat mempengaruhi jalannya
pemerintahan pada otonomi daerah yaitu masalah pendanaan. Untuk menanggulangi
hal tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan desentralisasi fiskal
dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Kebijakan fiskal ini memberikan
pengaruh yang signifikan dalam pengelolaan pemerintahan secara mandiri ketika
pemerintah daerah memaksimalkan kebijakan ini untuk mengoptimalkan pendapatan
dari daerahnya sendiri. Adanya kebijakan desentralisasi fiskal membuat
pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali dan mengoptimalkan sumber
daya yang ada di daerahnya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Konsekuensi dilaksanakannya otonomi daerah ini
adalah diberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih
mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk
memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Kewenangan yang lebih besar ini akan membutuhkan biaya
yang begitu besar. Diharapkan dengan banyaknya biaya yang dibutuhkan ini,
pemerintah daerah tidak bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah diharapkan dapat mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada
daerahnya agar tidak terlalu bergantung pada dana transfer dari pemerintah
pusat. Salah satu langkah yang dapat diambil yaitu melalui kebijakan fiskal.
Kebijaksanaan fiskal berarti penggunaan pajak, pinjaman masyarakat, pengeluaran
masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi atau pembangunan.
Kebijakan fiskal khususnya perpajakan bisa membantu
dalam menopang jalannya otonomi daerah, maka pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Undang-Undang ini merupakan salah satu langkah pemerintah pusat dalam membantu
pelaksanaan otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan desentralisai fiskal
dalam bidang perpajakan. Hal itu ditunjukkan dengan pengalihan pajak pusat
menjadi pajak daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(PBB P2), sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tersebut.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 ini, maka seluruh kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan
demikian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) menjadi salah
satu sumber pendapatan yang sangat potensial bagi daerah (kabupaten/kota).
Pengalihan pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan (PBB P2) ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah mempunyai
kekuasaan penuh untuk mengelola hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan (PBB P2) tanpa di bagi kepada pemerintah pusat. Kebijakan ini
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah, dan meningkatkan pelayanan publik serta penyelenggaran
pemerintahan. Selain itu juga dengan adanya kebijakan ini diharapkan pemerintah
daerah menjadi lebih mandiri dalam pembiayaannya.
Pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 tidak
langsung dilakukan serentak di seluruh kabupaten/kota di Indonesia melainkan
dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011 hanya kota Surabaya yang telah
mendapat pengalihan atas pengelolaan PBB P2. Tahun 2012, ada 17 kabupaten/kota
yang menyatakan diri siap untuk mengelola PBB P2. Sebanyak 105 kabupaten/kota
menyatakan siap untuk mengelola PBB P2 pada tahun 2013 dan 369 kota/kabupaten
lainnya yang belum menerima pengalihan PBB P2, pada tahun 2014 seluruh kabupaten/kota
di Indonesia sudah sepenuhnya melakukan pengelolaan PBB P2.
Kota Semarang merupakan salah satu kota yang
menerima pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah pada tahun 2012. Pemungutan PBB
P2 dilaksanakan oleh pemerintah kota mulai tahun 2012 atas dasar Perda Nomor 13
tahun 2011 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(DPKAD) Kota Semarang sebagai dinas daerah yang diberikan kewenangan untuk
mengurus dan mengelola penerimaan daerah yang berasal dari pos penerimaan
daerah. Pemerintah setiap tahunnya memiliki target dalam penerimaan PBB P2
sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Dibawah ini merupakan target
penerimaan PBB P2 Kota Semarang.
Tahun
|
Target Sebelum Perubahan APBD
|
Target Setelah Perubahan APBD
|
2012
|
Rp.
175.000.000.000
|
Rp.
159.000.000.000
|
2013
|
Rp.
175.000.000.000
|
Rp.
170.000.000.000
|
Tabel
1. Target Penerimaan PBB P2 Kota Semarang Sebelum dan Setelah Perubahan APBD
Sumber:
APBD Sebelum dan Setelah Perubahan Kota Semarang Tahun 2012-2013
Adanya kekurangsiapan Pemerintah Kota Semarang dalam
melaksanakan pengalihan PBB Perkotaan menyebabkan kurang maksimalnya realisasi
penerimaan yang tidak bisa mencapai target yang telah ditentukan. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan target berupa penurunan ketetapan target dalam
pengelolaan PBB Perkotaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang pada
tahun 2012-2013. Realisasi penerimaan pajak terkadang tidak sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh pemerintah
daerah sehingga diperlukan adanya penilaian efektivitas untuk melihat
keberhasilan pemungutan PBB P2 sebagai pajak daerah sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar
terhadap PAD.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis
mengangkat judul “Analisis Efektivitas
Pemungutan Pajak Bumi Bangunan
Perdesaan Perkotaan (PBB P2) Sebagai Pajak Daerah serta Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Semarang
Tahun 2012 dan 2013. Dalam makalah ini akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan pengalihan PBB P2 sekaligus membahas
efektivitas serta kontribusinya bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan yaitu
1. Bagaimana
pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah di Kota Semarang?
2. Bagaimana
efektivitas pemungutan PBB P2 sebagai pajak daerah di Kota Semarang?
3. Bagaimana
kontribusi PBB P2 terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Semarang tahun
2012 dan 2013 ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah
1.
Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan
pengalihan pajak bumi bangunan perdesaan perkotaan sebagai pajak daerah di Kota
Semarang
2. Untuk
mengetahui kontribusi pengalihan PBB P2 pada Penerimaan Asli Daerah kota
Semarang tahun 2012 dan 2013.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan
makalah ini adalah
1. Bagi
mahasiswa untuk menambah khasanah bacaan sekaligus sebagai bahan kajian selanjutnya.
2. Bagi
penulis untuk menambah pengetahuan dan pengalaman analisis kebijakan, karya
ilmiah dan mengaplikasikan teori-teori yang sudah di dapat di bangku
perkuliahan.
3. Bagi
Pemerintah sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi
pemerintah untuk penetapan kebijakan yang akan datang yang akan berkaitan
dengan perpajakan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Desentralisasi fiskal
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan
desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN
dalam kaitan dengan kebijakan keuangan Negara. Untuk mewujudkan ketahanan
fiskal yang berkelanjutan (fiscal
sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian
masyarakat, kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan. Besarnya kewenangan
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom akan menciptakan iklim
pemerintahan daerah yang merata di masyarakat (Farida, 2011:348-349).
2.2 Pajak
Menurut
Guritno, pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogative pemerintah,
pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan
kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat
ditunjukan penggunaannya.
Pajak merupakan sumber
penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi (Mardiasmo 2011 : 1), yaitu :
1. Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber
dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi
mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan pemerintah
dalam bidang sosial ekonomi.
2.3 Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan
Menurut
undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
Objek Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
Termasuk dalam
pengertian Bangunan adalah
a.
jalan lingkungan yang terletak dalam
satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan
suatu kesatuan dengan kompleks bangunan.
b.
jalan tol
c.
kolam renang
d.
pagar mewah;
e.
tempat olahraga;
f.
galangan kapal, dermaga;
g.
taman mewah;
h.
tempat penampungan/kilang minyak, air
dan gas,
i.
pipa minyak; dan
j.
menara.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap Wajib Pajak. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga
persen).
2.4
Pendapatan
Asli Daerah
Menurut Halim
(2004:94) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah
dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli
Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana
yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu
yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena
kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah
dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri dari:
a. Hasil
pajak Daerah.
b. Hasil
retribusi Daerah.
c. Hasil
perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang
dipisahkan.
d. lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Sektor
pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor
ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah
dan pembangunan daerahnya sendiri. Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam
mengoptimalkan penerimaan pendapatan daerahnya. Hal tersebut sebagai upaya
untuk menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda (otonomi daerah) sebagai
perwujudan asas desentralisasi.
2.5
Efektifitas
Pemungutan PBB P2
Mardiasmo
(2009:132) menjelaskan efektivitas merupakan kontribusi output terhadap
pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas merupakan
hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai.
Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan
dan spending wisely (sasaran akhir kebijakan). Mardiasmo (2009:132)
menjelaskan indikator efektivitas menggambarkan jangkauan akibat dan dampak (outcome)
dari keluaran (output) program dalam mencapai tujuan program.
Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan terhadap pencapaian tujuan
atau sasaran yang ditentukan, maka semakin efektif proses kerja yang dilakukan
suatu unit organisasi. Selanjutnya, Halim (2004:164) mengemukakan tingkat
efektivitas dapat diketahui dari hasil hitung formula efektivitas. Formula
untuk mengukur efektivitas terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara
realisasi pajak dengan target pajak:

Tabel 2. Kriteria Penilaian Efektivitas
Prosentase
|
Kriteria
|
Di
atas 100%
|
Sangat
efektif
|
90-100%
|
Efektif
|
80-90%
|
Cukup
efektif
|
60-80%
|
Kurang
efektif
|
Kurang
dari 60%
|
Tidak
efektif
|
Sumber: Munir, (2004:49).
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan
kontribusi yang dihasilkan oleh output (keluaran) terhadap pencapaian
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya, dengan mengetahui efektivitas
intensifikasi pemungutan PBB-P2, organisasi diharapkan mampu untuk menilai
tingkat keberhasilannya dalam mencapai tujuan yang telah ditargetkan
sebelumnya.
2.6
Kontribusi
PBB P2 terhadap PAD
Menurut
Guritno (1992:76) kontribusi adalah sesuatu yang diberikan secara bersama-sama
dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama.
Sedangkan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia kontribusi adalah
sumbangan. Sehingga kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat diartikan sebagai sumbangan yang
diberikan oleh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaaan
(PBB-P2) terhadap besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Halim (2004:163)
merumuskan formula untuk menghitung tingkat kontribusi PBB-P2 terhadap PAD
adalah:

Berdasarkan
hasil perhitungan perbandingan realisasi PBB-P2 terhadap PAD, dapat diketahui
besarnya kontribusi PBB-P2 terhadap PAD. Semakin tinggi kontribusi PBB-P2
terhadap PAD, maka akan mendorong meningkatnya PAD. Berikut ini penilaian
kriteria kontribusi PBB-P2 terhadap PAD:
Tabel 3. Interpretasi
Nilai Kontribusi PBB-P2 Terhadap PAD
Prosentase
|
Kriteria
|
Rasio
0,00 – 10,00%
|
Sangat
Kurang
|
Rasio
10,10 – 20,00%
|
Kurang
|
Rasio
20,10 – 30,00%
|
Sedang
|
Rasio
30,10 – 40,00%
|
Cukup
|
Rasio
40,10 – 50,00%
|
Baik
|
Rasio
di atas 50,00%
|
Sangat
Baik
|
Sumber: Tim Litbang
Pemdagri Fisipol UGM, 1991 (Mariana, 2005).
2.7
Penelitian
Terdahulu
Terdapat
beberapa penelitian terdahulu yang relevan terhadap makalah ini yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Ferian Dana Pradita dkk, yang berjudul “Efektivitas Intensifikasi
Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta
Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya”. Hasil
penelitian tersebut adalah efektifitas intensifikasi dari PBB P2 di Kota
Surabaya termasuk dalam criteria cukup efektif. Realisasi penerimaan PBB Perkotaan dari tahun 2011-2013
menunjukan peningkatan setiap tahunnya, namun peningkatan tersebut juga
diiringi oleh peningkatan penerimaan PAD Kota Surabaya, sehingga jika dilihat
dari besarnya prosentase kontribusi PBB Perkotaan terhadap PAD Kota Surabaya
menunjukan penurunan dari tahun 2011-2013.
Penelitian
kedua dilakukan oleh Voni Lestari dengan judul
“Analisis Pengaruh Pengalihan
Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (PBB P2) terhadap Penerimaan
Pendapatan Daerah Kota Kediri Tahun 2012 Dan 2013”. Hasil dari
penelitian tersebut pengalihan PBB P2 menaikkan pendapatan asli kota Kediri.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Ida
Ayu Metha Apsari Prathiwi, Nyoman Trisna Herawati, Ni Luh Gede Erni Sulindawati dalam jurnal yang berjudul “Analisis
Strategi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (Pbb P2)
Serta Efektivitas Penerimaannya Di Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2013-2014”.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kendala yang dialami
oleh pemerintah kota Denpasar adalah karena PBB P2 merupakan pajak baru
sehingga pemda mengalami kesulitan dalam pengelolaannya, aplikasi SISMIOP yang
diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak berjalan dengan baik, sarana dan
prasarana yang kurang memadai serta membutuhkan biaya yang besar, serta sumber
daya manusia yang tidak optimal dalam memberikan pelayanan. Pemerintah kota
Denpasar melakukan tiga tahapan strategi yaitu tahap perencanaan strategi,
pelaksanaan strategi, dan evaluasi strategi. Penerimaan PBB P2 kota Denpasar
tergolong sangat efektif dengan presentase di atas seratus persen.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Pelaksanaan
Kebijakan Peralihan PBB P2 sebagai Pajak Daerah di Kota Semarang
Undang-undang
Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah di bentuk dalam rangka
meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Daerah telah diberikan kewenangan untuk
memungut pajak (taxing power). Ada empat perubahan fundamental yang diatur
dalam undang-undang tersebut. Salah satu diantara perubahan tersebut adalah
memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah melalui perluasan basis
pajak daerah dan retribusi daerah, penambahan jenis pajak baru yang dapat
dipungut oleh daerah dan pemberian diskresi kepada daerah untuk menetapkan
tarif sesuai dengan batas tarif maksimum dan minimum yang telah ditentukan.
Diterbitkannya
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009, pemerintah daerah mempunyai tambahan sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru, sehingga jenis pajak kabupaten atau kota
bertambah dari tujuh menjadi sebelas jenis pajak. Penambahan pos pajak dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Perbedaan Jenis Pajak
Kabupaten/Kota pada UU No.34/2000 dengan UU No. 28/2009
UU
No.34 tahun 2000
|
UU
No.28 Tahun 2009
|
1.
Pajak Hotel
2.
Pajak restoran
3.
Pajak hiburan
4.
Pajak reklame
5.
Pajak penerangan jalan
6.
Pajak parkir
7.
Pajak pengambilan bahan galian
Gol.C
|
1.
Pajak Hotel
2.
Pajak restoran
3.
Pajak hiburan
4.
Pajak reklame
5.
Pajak penerangan jalan
6.
Pajak parkir
7.
Pajak material bukan logam dan
batuan
8.
Pajak air tanah
9.
Pajak sarang burung wallet.
|
Salah
satu jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah adalah Pajak Bumi
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pada awalnya PBB P2 merupakan pajak
pusat yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan
seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Namun untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, khususnya dari penerimaan PBB, maka paling lambat pada tanggal
1 Januari 2014 seluruh proses pengelolaan PBB-P2 akan dilakukan oleh pemda.
Sedangkan, PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih tetap
menjadi pajak pusat.
Adapun
alasan pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara lain:
a. PBB-P2
dapat dipungut oleh daerah karena lebih bersifat lokal, visibilitas, objek
pajak tidak berpindah-pindah (immobile),dan terdapat hubungan erat
antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut.
b. Pengalihan
PBB-P2 kepada daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD dan memperbaiki struktur
APBD.
c. Pengalihan PBB-P2 kepada daerah dapat
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.
d. Berdasarkan
praktek di banyak negara, PBB-P2 termasuk dalam jenis local tax.
Tujuan dari dialihkannya PBB P2
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah menambah jenis pajak di
daerah. Dengan bertambahnya jenis pajak di daerah diharapkan Pemerintah Daerah
dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Pemerintah Daerah juga memiliki
kewenangan dalam penetapan tarif PBB P2 yang dituangkan dalam Perda di daerah
masing-masing. Serta menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran
dan pengaturan pada daerah yang merupakan cerminan dari desentralisasi fiskal.
Dengan pengelolaan PBB P2 sebagai pajak daerah diharapkan pengelolaan dapat
dilaksanakan dengan optimal karena Pemerintah Daerah lebih dekat pada
masyarakatnya sehingga lebih memahami karakteristik serta keadaan di wilayahnya
bila dibandingkan dengan Pemerintah Pusat, serta dapat meningkatkan
akuntabilitas penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pengalihan PBB
P2 dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah memberikan banyak keuntungan bagi
Pemerintah Daerah untuk mengelola daerahnya secara otonom.
Penerimaan PBB-P2 setelah adanya pengalihan ke pemda
akan sepenuhnya masuk ke pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mampu
meningkatkan jumlah pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh
pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar
64,8 %. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan masuk
ke dalam kas pemerintah daerah (www.pajak.go.id).
Dikota Semarang pemungutan PBB P2 dilaksanakan oleh
Pemerintah Kota mulai Tahun 2012 atas dasar Perda Nomor 13 Tahun 2011 Sebagai
Turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Definisi PBB Perkotaan menurut
Perda tersebut adalah “pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan”. Peraturan
Daerah tentang PBB Perkotaan tersebut dibentuk sebagai operasionalisasi serta
sebagai syarat yang harus disiapkan apabila melakukan pemungutan PBB P2 secara
mandiri oleh Pemerintah Kota Semarang. Dengan adanya Peraturan Daerah tersebut
diharapkan dapat memberikan kesadaran, kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah
dalam membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pelayanan umum. Dinas
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang sebagai dinas daerah
yang diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola penerimaan daerah yang
berasal dari pos penerimaan daerah. Pemda memiliki kewenangan dalam kegiatan
yang terkait dengan PBB-P2 menjadi milik Pemerintah Daerah, hal itu meliputi
proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan
dan pelayanan terkait PBB P2.
Pada pelaksanaanya masih terdapat kendala dalam
pemungutan PBB P2 di kota Semarang. Kurangnya kesiapan daerah dalam transisi
perpindahan pajak pusat menjadi pajak daerah sehingga menjadikan kurang
maksimalnya penerimaan pajak didaerah. Pemerintah Kota Semarang belum memiliki
sarana dan prasarana yang sesuai untuk menunjang perolehan penerimaan PBB P2
seperti sistem database Wajib Pajak, gedung pelayanan PBB,
pengorganisasian petugas untuk menangani pelayanan PBB, serta hal-hal yang
bersifat teknis yang penting dalam penyelenggaraan pemungutan PBB Perkotaan.
Selain sarana dan prasarana, kesiapan sumberdaya manusia dalam hal pengelolaan
PBB didaerah juga masih kurang. Petugas penarik pajak tersebut memerlukan
pendidikan dan pengelolaan PBB P2 yang tergolong masih baru di daerah.(Aji 2014:3)
Dalam menjalankan kewenangannya, pemeritah kota
Semarang memiliki target pencapaian penerimaan PBB P2. Akan tetapi target
tersebut mengalami perubahan pasca di berlakukannya Undang-Undang PDRD dan
Perda Kota Semarang Nomor 13 Tahun 2011.
Tahun
|
Target Sebelum
Perubahan APBD
|
Target Setelah
Perubahan APBD
|
2012
|
Rp.
175.000.000.000
|
Rp.
159.000.000.000
|
2013
|
Rp.
175.000.000.000
|
Rp.
170.000.000.000
|
Tabel
5. Target PBB Perkotaan Kota Semarang Sebelum
dan Setelah Perubahan APBD Tahun 2012 dan 2013
Sumber: Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah Kota Semarang Tahun 2013
Target penerimaan sebelum adanya perubahan APBD Pada
tahun 2012 dan 2013 adalah 175 milyar rupiah, akan tetapi setelah perubahan
APBD kota Semarang target penerimaan PBB
perkotaan diturunkan menjadi 159 milyar rupiah pada tahun 2012 dan 170 milyar
rupiah pada tahun 2013. Penyebab penurunan target penerimaan PBB perkotaan tersebut
adalah kurang siapnya pemerintah Kota Semarang dalam melaksanakan pengalihan
PBB P2 sehingga realisasi target tidak bisa mencapai target yang telah di
tentukan. Penurunan target penerimaan tersebut sebenarnya tidak seharusnya
dilakukan. Diberlakukannya undang-undang dan perda tersebut pemda memiliki
kewenangan penuh untuk mengoptimalkan pemungutan PBB P2 sehingga dapat memberikan
kontribusi yang lebih terhadap PAD Kota Semarang karena pemerintah kota dapat
mengelola secara mandiri PBB Perkotaan.
3.2
Efektivitas
Pemungutan PBB P2 di Kota Semarang
Salah satu indikator keberhasilan dalam melaksanakan
pemungutan pajak adalah tercapainya rencana target penerimaan yang telah
ditetapkan. Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pemungutan pajak maka
dilakukan penilaian efektivitas terhadap pemungutan PBB P2. Efektivitas
merupakan suatu penilaian terhadap proses untuk mencapai target yang telah
ditetapkan sebelumnya. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat efektivitas
penerimaan PBB P2 Kota Semarang dapat dilakukan dengan membandingkan antara
target yang telah ditentukan dengan realisasi penerimaan PBB P2 pada tahun yang
sama.
Tabel
6. Target, Realisasi dan Efektivitas Penerimaan PBB Perkotaan Kota Semarang
Tahun 2012 dan 2013
Tahun
|
Target
|
Realisasi
|
Efektivitas
|
2012
|
Rp.
159.000.000.000
|
Rp
161.334.468.066
|
101.46
%
|
2013
|
Rp.
170.000.000.000
|
Rp
185.173.747.490
|
108.95%
|
Sumber: Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah Kota Semarang Tahun 2013
Kota Semarang pada tahun pertamanya melaksanakan
pemungutan PBB Perkotaan menetapkan target penerimaan sebesar 175 Miliar, akan
tetapi ketetapan target tersebut dilakukan perubahan diturunkan sebesar 16
Miliar menjadi sebesar 159 Miliar. Dengan ketetapan target yang lebih rendah
dari ketetapan target awal Pemerintah Kota Semarang berhasil melampaui target
yang ditetapkan dengan presentase 101,46% atau sebesar Rp
161.334.468.066 dari target 159 Miliar.
Pada tahun 2013 realisasi penerimaan pajak PBB
perkotaan kota Semarang adalah sebesar Rp
185.173.747.490. Realisasi penerimaan pajak tersebut telah melampaui
target yang telah di tetapkan baik target awal yaitu 175 milyar maupun target
perubahan sebesar 170 milyar dengan presentase efektivitas sebesar 108.95% dari
target perubahan.
Besarnya
realisasi penerimaan PBB P2 Kota Semarang pada tahun 2013 juga disebabkan
karena adanya upaya-upaya yang dilaksanakan pemerintah Kota Semarang dalam
rangka meningkatkan realisasi penerimaan PBB Perkotaan. Kota Semarang lebih
cenderung mengunakan upaya-upaya preventif dalam pelaksanaan pemungutannya.
Upaya preventif merupakan tindakan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi atau
mencegah sebelum terjadi. Dalam hal ini upaya preventif dilakukan untuk
mencegah terjadinya tunggakan pembayaran PBB Perkotaan agar pembayaran
dilaksanakan sebelum masa jatuh tempo pembayaran. Sehingga wajib pajak tidak
mendapatkan sanksi, baik sanksi yang ringan yakni sanksi administratif sampai
dengan sanksi yang paling berat yakni dilakukan penyitaan. Upaya tersebut
berupa program atau kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan realisasi
penerimaan antara lain pekan panutan, operasi bhakti, operasi sisir, program
undian berhadiah untuk wajib pajak PBB Perkotaan, serta kegiatan lainnya.(Aji
2013:11)
Pekan Panutan merupakan salah satu bentuk kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan di Kota Semarang.
Kegiatan ini diikuti oleh para wajib pajak baik dari jajaran Pemerintah Kota
Semarang, pengusaha maupun warga masyarakat. Kegiatan Pekan Panutan
dilaksanakan lebih awal sebelum jatuh tempo pembayaran dengan sasaran
memberikan keteladanan atau panutan kepada wajib pajak PBB Perkotaan untuk
melakukan pembayaran PBB tepat pada waktunya. Para pejabat publik yang
diharapkan dapat menjadi panutan serta tauladan dalam melaksanakan pembayaran
PBB sebelum jatuh tempo dimulai dari lurah, camat, serta jajaran pejabat
Pemerintah Kota Semarang.
Upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan
penerimaan PBB Perkotaan yang dilaksanakan DPKAD adalah dengan melaksanakan
kegiatan operasi bhakti yang bertujuan untuk mempermudah wajib pajak dalam
melakukan pembayaran pajak terutangnya sebelum masa jatuh tempo, hal ini
dilakukan dengan cara mendekatkan tempat pembayaran kepada wajib pajak. Petugas
dari DPKAD lebih cenderung bersifat aktif dalam melaksanakan pemungutan dengan
berkeliling ditempat-tempat yang telah ditentukan sebelumnya.
Kegiatan lain yang dilaksanakan dengan tujuan untuk
mengoptimalkan penerimaan PBB Perkotaan di Kota Semarang adalah operasi sisir.
Sistem kerja dari operasi sisir diadopsi dari sistem operasi bhakti, namun
operasi sisir dilaksanakan setelah jatuh tempo pembayaran atau 6 bulan setelah
diterimanya SPPT PBB Perkotaan. Wajib pajak diberikan kemudahan dalam
melaksanakan pembayaran PBB dengan mendekatkan tempat pembayaran sehingga mudah
dijangkau oleh masyarakat. Perbedaan lain dari operasi sisir ini adalah
masyarakat yang melaksanakan pembayaran PBB dikenakan sanksi 2% perbulan selama
maksimal 24 bulan. Hal ini dikarenakan atas dasar aturan dalam Peraturan Daerah
Kota Semarang yang mengatur sanksi bagi wajib pajak yang terlambat melaksanakan
pembayaran pajak terutangnya.
Program undian berhadiah untuk wajib pajak PBB
Perkotaan memang menjadi salah satu kegiatan baru dari Pemerintah Kota Semarang
dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan. Kegiatan ini dimulai pada
tahun 2012 yang sifatnya mengajak para wajib pajak PBB Perkotaan untuk
melaksanakan pembayaran sebelum masa jatuh tempo. Sebagai salah satu bentuk
penghargaan bagi wajib pajak yang telah melaksanakan pembayaran sebelum jatuh
tempo, Pemerintah Kota Semarang memberikan reward atau hadiah berupa
kesempatan mengikuti undian berhadiah yang dilaksanakan Pemerintah Kota
Semarang.
Selain upaya-upaya yang bersifat internal yang
dilaksanakan pada jajaran Pemerintah Kota Semarang. Juga dilaksanakan upaya
lain yang melibatkan masyarakat. Salah satunya adalah dengan melakukan
koordinasi ditingkat kelurahan dan kecamatan agar menjadikan bukti setoran
pembayaran pajak bumi dan bangunan perkotaan sebagai salah satu syarat dapat
dilaksanakannya pelayanan-pelayanan administratif di tingkat kelurahan dan
kecamatan, dengan demikian bagi setiap warga masyarakat yang menginginkan
pelayanan administratif dari instansi tersebut wajib melampirkan bukti setoran
pembayaran PBB sebagai syaratnya.
Pencapaian
target yang selalu melebihi 100% ini menunjukan bahwa pemerintah kota semarang
sudah sangat efektif dalam pemungutan PBB P2. Akan tetapi adanya penurunan target dari
target awal menjadikan pemda kurang bisa mengoptimalkan penerimaan PBB P2
sebagai Pajak daerah.
3.3
Kontribusi
PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang
Adanya pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah ini
salah satunya bertujuan untuk memperluas objek pajak daerah sehingga diharapkan
akan menambah pendapatan asli daerah karena 100% hasil pendapatan dari PBB P2
tersebut akan masuk ke daerah. Dengan adanya kenaikan pada PAD diharapkan
daerah lebih mandiri dan mampu dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Dibawah ini
adalah tabel kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang.
Tabel 7. Kontribusi PBB
P2 terhadap PAD Kota Semarang
Tahun
|
Realisasi
PBB Perkotaan
|
Realisasi
PAD
|
Kontribusi
PBB P2 terhadap PAD
|
2012
|
Rp 161.334.468.066
|
Rp
786.563.411.659
|
20.51
%
|
2013
|
Rp 185.173.747.490
|
Rp
930.577.133.513
|
19.89
%
|
Sumber: Data diolah, 2013.
Adanya pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah
menjadikan penerimaan asli daerah dari sektor pajak menjadi bertambah. Pada
tahun 2012 realisasi PBB P2 adalah Rp 161.334.468.066
sedangkan realisasi PAD nya adalah Rp
786.563.411.659. pada tahun 2013 realisasi PBB P2 adalah Rp 185. 173.747.490 sedangkan PADnya Rp
930.577.133.513. Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan realisasi PBB-P2
terhadap PAD Kota Semarang, dapat diketahui besarnya kontribusi PBB-P2 terhadap
PAD Kota Semarang. Semakin tinggi kontribusi PBB-P2 terhadap PAD, maka akan
mendorong meningkatnya PAD Kota Semarang. Pada tahun 2012 kontribusi PBB P2
terhadap PAD adalah 20.51% sedangkan pada tahun 2013 kontribusinya adalah 19.89%.
Pada tahun 2013 terjadi penurunan kontribusi PBB terhadap PAD. Penurunan
kontribusi ini bukan berasal dari realisasi penerimaan PBB sektor perkotaan yang
mengalami penurunan, akan tetapi kenaikan realisasi penerimaan PBB P2 juga
diikuti oleh kenaikan PAD. Kenaikan PAD tersebut disebabkan oleh adanya
peningkatan yang cukup tinggi dari penerimaan retribusi daerah dan lain-lain
PAD yang Sah. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD kota Semarang sebesar 20,21 % dan
18,28% ini berarti bahwa kontribusi PBB P2 terhadap pembentukan PAD kota Semarang
berada pada kriteria kurang dan sedang. Hal ini menujukan bahwa, pendapatan
dari pos-pos pendapatan lain seperti retribusi daerah, pendapatan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli
daerah lebih berkontribusi terhadap pembentukan PAD kota Semarang.
Pada bulan Februari 2015, muncul wacana bahwa
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan memberlakukan
bebas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah huni, tempat ibadah,
dan bangunan sosial mulai tahun 2016. Rencana pembayaran PBB setiap tahun hanya
akan dikenakan terhadap bangunan komersil seperti rumah toko, pusat
perbelanjaan, gedung perkantoran dan restoran. Hal ini disebabkan karena hunian
setiap tahun membebani masyarakat penghuni nonkomersil. Pemerintah hanya akan
memungut biaya terhadap masyarakat saat awal pembelian lahan tanah atau sewa
huni. Jika hal tersebut benar terjadi, maka dapat dipastikan penerimaan PBB
akan berkurang. Hal ini tentunya akan mengurangi pendapatan asli daerah dan
juga kontribusi PBB terhadap PAD akan semakin kecil sehingga akan mengurangi
kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Disisi lain pengahapusan
PBB untuk hunian non komersil tersebut akan menguntungkan masyarakat, terutama
masyarakat yang kurang mampu karena mereka tidak harus membayar pajak. Untuk
itu pemerintah diharapkan mengkaji lebih lanjut perihal rencana penghapusan PBB
untuk hunian non komersil. Pemerintah diharapkan tidak gegabah dalam mengambil
kebijakan mengingat substansi pemungutan pajak adalah untuk dikembalikan kepada
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
1. Kebijakan
peralihan PBB P2 menjadi pajak daerha merupakan kebijakan yang didasarkan pad undang-undang No
28 tahun 2009 yang bertujuan memperluas objek
pajak daerah dan retribusi daerah, menambah jenis pajak daerah dan retribusi
daerah (termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak
Daerah), memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah, dan
menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada
daerah.
2. Kota
semarang mulai melakukan peralihan PBB P2 sebagai pajak daerah mulai tahun
2012, akan tetapi pada pelaksanaanya masih terdapat kendala yaitu belum siapnya
pemda dalam melakukan pemungutan PBB P2. Hal tersebut menjadikan realisasi
target sulit dicapai sehingga pemda melakukan perubahan target pencapaian dalam
APBD nya.
3. Realisasi
penerimaan PBB P2 kota Semarang sudah termasuk dalam criteria yang efektif
karena realisasinya telah melebihi target perubahan yang telah ditetapkan yaitu
sebesar 101,46% pada tahun 2012 dan 108.95% pada tahun 2013.
4. Kontribusi
PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang dari tahun 2012-2013 persentasenya menunjukan
penurunan. Penurunan tersebut terjadi bukan karena realisasi penerimaan PBB P2
yang menurun. Namun peningkatan realisasi PBB P2 juga diiringi oleh peningkatan
PAD. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD kota Semarang sebesar 20,21 % dan 18,28%
ini menunjukan bahwa kontribusi PBB P2 terhadap pembentukan PAD kota Semarang
berada pada kriteria kurang dan sedang.
4.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan
yang diperoleh, maka diperlukan saran dan rekomendasi untuk meningkatkan
kualitas pemungutan PBB Perkotaan di Kota Semarang, dan rekomendasi tersebut
berupa:
1.
Dalam pelaksanaan pemungutan
PBB Perkotaan memerlukan sarana dan prasarana yang menunjang keberhasilannya
dengan tujuan dapat tercapainya target penerimaan yang telah ditetapkan. Oleh
sebab itu Pemerintah Kota Semarang harus menyelesaikan tugas dan tanggung
jawabnya dalam proses pengalihan PBB Perkotaan yang tidak dipersiapkan dengan
baik seperti software aplikasi PBB, ruang arsip, dan gedung untuk pelayanan
PBB.
2.
Perlu ditingkatkannya aturan
legalitas pemungutan PBB Perkotaan ditingkat kelurahan dan kecamatan untuk
mendukung upaya Pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan penerimaan
PBB Perkotaan.
3.
Pemerintah harus lebih
kreatif lagi dalam menarik perhatian wajip pajak untuk membayarkan pajak agar
penerimaan pajaknya dapat lebih optimal lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Aji, Mohamad
Nur I. 2014. “Analisis Pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Semarang Tahun 2012-2013”. Jurnal Ilmu Pemerintahan: Universitas
Diponogoro yang di unduh melalui http://download.portalgaruda.org/article.php?article=150682&val=4924&title=Analisis%20Pemungutan%20Pajak%20Bumi%20dan%20Bangunan%20Perkotaan%20di%20Kota%20Semarang%20Tahun%202012-2013 pada 9 maret 2015 pukul 04.00
WIB
Anonim.2013.
LKPJ Walikota Semarang Tahun 2013.diunduh melalui http://beta.semarangkota.go.id/content/image/files/3.%20BAB%203%20Keuangan%20Draft%20LKPJ%202013.pdf pada 10 Maret Pukul 04.43 WIB.
Badan
Pusat Statistik.2013.Kota Semarang Dalam
Angka 2012. Semarang: BPS Kota
Semarang
Badan
Pusat Statistik.2014.Kota Semarang Dalam
Angka 2013. Semarang: BPS Kota
Semarang
Direktorat Jenderal
Pajak.2012. “Pengalihan Pajak Bumi Dan
Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Pbb-P2) Sebagai Pajak Daerah”. Diakses
melalui :http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan
Farida,
Ai Siti. 2011. Sistem Ekonomi Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia
Guritno.
1992. Kamus Ekonomi. Jakarta:
Erlangga.
Halim,
Abdul. 2004. Akuntansi Keuangan Daerah.
Jakarta: Salemba Empat
Kuncoro,
Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah :Reformasi, Perencanaan,
Strategi dan Peluang. Jakarta, Erlangga.
Mardiasmo.
2009. Akuntansi Sektor Publik.
Yogyakarta:ANDI.
------------.
2011. Perpajakan Edisi Revisi.
Yogyakarta: ANDI.
Pradita,dkk.
2014. Efektivitas Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan (PBB-P2) serta KontribusinyaTerhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kota Surabaya. Jurnal Fakultas Ilmu Administrasi: Universitas
Brawijaya
Prathiwi,dkk. 2015.Analisis Strategi Penerimaan
Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (Pbb P2) Serta Efektivitas
Penerimaannya Di Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2013-2014. Dalam e-Journal
S1 Akuntansi
Volume 3, No.1 Tahun 2015: Universitas Pendidikan Ganesha.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
1 comments:
rumus efektivitas PBB bagaimana?
Post a Comment