Powered by Blogger.
RSS

KELANGKAAN SUMBER DAYA AIR

MAKALAH
KELANGKAAN SUMBER DAYA AIR
(dalam rangka mengerjakan tugas mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, dosen pengampu Dr Amin Pujiati, S.E, M.Si)



Disusun oleh :
Ana Syukriyah                      7111412069
Ekonomi Pembangunan B 2012




JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan unsur yang vital dalam kehidupan seseorang. Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa air, karena itulah air merupakan salah satu penopang hidup bagi manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah ruah, namun yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai air minum, sedangkan sisanya adalah air laut.
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumberdaya air dimana persediannya masih mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, masih jauh diatas ketersediaan air rata-rata dunia yang hanya 8000 meter kubik. Meskipun begitu Indonesia sering kali mengalami kelangkaan air bersih. Memasuki musim kemarau, beberapa daerah di Indonesia menjadi langganan  daerah yang mengalami kekeringan dan kelangkaan air. Seperti yang terjadi di Dusun Nglakap, Desa Sambirejo, Prambanan, Sleman masyarakat  terpaksa harus mengais air yang tertampung pada ceruk-ceruk tebing untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Hal ini dilakukan karena air sumur dan sumber air yang sering digunakan warga sudah dalam keadaan kering. (kompas, 12 september 2014).
Selain itu, kecenderungan yang terjadi sekarang ini adalah berkurangnya ketersediaan air bersih itu dari hari ke hari. Semakin meningkatnya populasi, semakin besar pula kebutuhan akan air minum. Sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang. Kondisi ketersediaan air yang terbatas diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan. Akibatnya, tingkat pencemaran air oleh limbah cair ataupun padat semakin tinggi. Daerah persediaan air pun rusak karena penebangan liar yang terjadi di hutan-hutan dan daerah resapan air. Kondisi ini menjadi semakin berat dengan adanya ancaman serius dari dampak perubahan iklim. Untuk itu diperlukan sebuah kajian untuk menangani maslah krisis air yang terjadi.
1.2 Rumusan  Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat di rumuskan beberapa masalah yaitu:
1.      Apa penyebab kelangkaan air di Indonesia?
2.      Bagaimana dampak kelangkaan air terhadap kegiatan ekonomi?
3.      Bagaimana cara mengatasi kelangkaan sumber daya air yang ada ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
1.      Mengetahui apa penyebab terjadinya kelangkaan air.
2.      Mengetahui dampak kelangkaan air terhadap kegiatan ekonomi.
3.      Mengetahui bagaimana cara mengatasi kelangkaan sumber daya air yang ada.

















BAB II
LANDASAN TEORI
2.1    Sumber Daya Alam
Sumber Daya Alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam dan di bawah permukaan bumi yang secara langsung ataupun tidak langsung bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan umat manusia.
Dalam ekonomi sumber daya alam di bagi menjadi dua yaitu :
a.       SD. Alam yang dapat diperbarui (renewable resources), dimana sumber daya alam ini memiliki kemampuan untuk memperbarui baik secara alami maupun harus dengan campur tangan manusia.
b.      SD. Alam yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources), yaitu sumber daya alam yang tidak mempunyai kemampuan memperbarui baik alami maupun oleh manusia. Misalnya berbagai macam tambang.
2.2  Air
Dalam UU RI No.7 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002, disebutkan beberapa pengertian terkait dengan air, yaitu sebagai berikut :
Sumber daya air adalah air, dan daya air yang terkandung didalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan. Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hariyang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak Air Minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, diatas, ataupun di bawah permukaan tanah
3.1  Kelangkaan
Menurut Lipsey, kelangkaan dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana jumlah kebutuhan manusia yang sangat tidak terbatas sementara sumber daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut sangat terbatas jumlahnya. Dengan singkat kata kelangkaan terjadi karena jumlah kebutuhan lebih banyak dari jumlah barang dan jasa yang tersedia.
Pendekatan yang di gunakan dalam mengukur kelangkaan di bagi menjadi dua yaitu biaya produksi dan harga barang sumberdaya alam. Kebenaran dari seluruh alat pengukur masih perlu dikaji bagaimana ketelitian dari alat ukur tersebut. Pendekatan dengan biaya produksi, maupun scarcity rent harus dikaji ulang mengingat kondisi pasar yang ada, khususnya apakah mekanisme pasar dapat bekerja secara sempurna, tidak ada eksternalitas, dan tidak ada campur tangan pemerintah. Pendekatan baik secara fisik maupun secara ekonomis sama-sama memiliki kelemahan. Pendekatan secara fisik tidak memiliki kepastian mengenai besarnya persediaan. Sedangkan pendekatan secara ekonomis memiliki kelemahan yaitu bila mekanisme pasar tidak dapat bekerja secara sempurna. Oleh karena itu masih sulit untuk memastikan kondisi dari sumber daya alam itu, apakah masih melimpah atau sudah langka adanya .



















BAB  III
PEMBAHASAN
3.1  Gambaran Umum Dan Penyebab Kelangkaan Sumber Daya Air
Air merupakan kebutuhan pokok setiap makhluk hidup di bumi. Manusia tergantung pada air bukan hanya memenuhi kebutuhan domestik rumah tangga melainkan juga untuk kebutuhan –  kebutuhan seperti kebutuhan produksi, kebutuhan industri dan kebutuhan lainnya. Seiring berjalannya waktu, meningkatnya jumlah populasi berbanding lurus pada meningkatnya kebutuhan akan air, padahal menurut siklus hidrologi, jumlah air adalah tetap. Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yakni krisis air.
Menurut Kodoati dan Sjarief (2010) Air merupakan sumber daya alam yang paling unik jika dibandingkan dengan sumber daya lain karena sifatnya yang terbarukan dan dinamis. Artinya sumber utama air yang berupa hujan akan selalu datang pada musimnya sesuai dengan waktu. Namun, pada kondisi tertentu air bisa bersifat tak terbarukan, misal pada kondisi geologi tertentu dimana proses perjalanan air tanah memerlukan waktu ribuan tahun, sehingga bila pengambilan air tanah dilakukan secara berlebihan, air akan habis (Kodoatie dan Roestam, 2010).
Air merupakan sumber daya yang vital bagi kehidupan. Pada dasarnya air digunakan untuk kegiatan sehari - hari seperti minum, mandi, memasak, maupun mencuci. Oleh karena itu, ketersediaan air yang mencukupi sangat diprioritaskan baik di Perkotaan dan Pedesaan. Ketersediaan air yang kurang mencukupi jika dibandingkan dengan kebutuhan air bersih akan menimbulkan krisis dan kelangkaan air yang tentu saja menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehari -hari.
Setiap kali memasuki musim kemarau panjang, beberapa daerah di Indonesia menjadi langganan  kekeringan. Sumber-sumber air yang biasanya mereka gunakan seperti sungai, mata air berubah menjadi lahan kering. PDAM yang biasanya mengaliri rumah-rumah penduduk pun mengecil bahkan ada yang tidak mengalir. Akibatnya penduduk kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Kelangkaan air tidak hanya terjadi ketika musim kemarau, tetapi juga terjadi pada masyarakat yang tinggal di perkotaan. Sebagian besar sumber air di kota telah beralih fungsi menjadi tempat pembuangan  sampah sehingga air yang ada tidak dapat digunakan lagi. Hal yang sama juga terjadi di daerah kawasan industry, sebagian besar sumber air tercemar oleh limbah industry yang tidak dilakukan penanganan terlebih dahulu sehingga sangat membahayakan jika di konsumsi atau digunakan untuk memenuhi kebutuhan air setiap hari.
Kelangkaan air bersih sangat meresahkan kehidupan manusia, karena manusia tak akan mampu bertahan hidup bila tidak ada air bersih. Ada tiga faktor yang menyebabkan kelangkaan air bersih. Tiga faktor penyebab kelangkaan air bersih tersebut antara lain :
a.              Perilaku Manusia
Faktor utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Sebagian besar masyarakat Indonesia, menyediakan air minum secara mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi tepat guna hal hal yang terkait dengan persoalan air, terutama tentang konservasi dan pentingnya menggunakan air secara bijak. Masyarakat masih menganggap air sebagai benda sosial. Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip perlindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari-hari, termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran/sampah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama.
Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia semakin hari semakin meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di dunia, yang memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin meningkat pesat dan disisi lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin meningkat pula sebagai implikasi industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tidak disertai dengan penyebaran yang merata sehingga menyebabkan masih tingginya jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.
b.             Kerusakan Lingkungan
1.  Penggundulan Hutan
Kerusakan lingkungan yang makin parah akibat penggundulan hutan merupakan penyebab utama kekeringan dan kelangkaan air bersih. Kawasan hutan yang selama ini menjadi daerah tangkapan air (catchment area) telah rusak karena penebangan liar. Laju kerusakan di semua wilayah sumber air semakin cepat, baik karena penggundulan di hulu maupun pencemaran di sepanjang DAS.
2.  Global Warming
Pemanasan global telah memicu peningkatan suhu bumi yang mengakibatkan melelehnya es di gunung dan kutub, berkurangnya ketersediaan air, naiknya permukaan air laut dan dampak buruk lainnya. Seiring dengan semakin panasnya permukaan bumi, tanah tempat di mana air berada juga akan cepat mengalami penguapan untuk mempertahankan siklus hidrologi. Air permukaan juga mengalami penguapan semakin cepat sedangkan balok-balok salju yang dibutuhkan untuk pengisian kembali persediaan air tawar justru semakin sedikit dan kecil. Ketika salju mencair tidak menurut musimnya yang benar, maka yang terjadi bukanlah salju mencair dan mengisi air ke danau, salju justru akan mengalami penguapan. Danau-danau itu sendiri akan menghadapi masalahnya sendiri ketika airnya tidak lagi membeku. Air akan mengalami penguapan yang jauh lebih lambat ketika permukaannya tertutup es, sehingga ada lebih banyak air yang tersisa dan meresap ke dalam tanah. Ketika terjadi pembekuan yang lebih sedikit, artinya semakin banyak air yang dilepaskan ke atmosfir. Maka, ketika gletser yang tersisa dari zaman es mencair semua, sungai-sungai akan kehilangan sumber air. Saat ini pencemaran air sungai, danau dan air bawah tanah meningkat dengan pesat. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari manusia, dengan jumlah 2 milyar ton sampah per hari, dan diikuti kemudian dengan sektor industri dan perstisida dan penyuburan pada pertanian. Sehingga memunculkan prediksi bahwa separuh dari populasi di dunia akan mengalami pencemaran sumber-sumber perairan dan juga penyakit berkaitan dengannya. Kelangkaan air bersih disebabkan pula oleh pencemaran limbah di sungai.
c.              Manajemen Pengelolaan Air yang Kurang Baik
1. Kurangnya koordinasi antara institusi terkait
Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab terhadap infrastruktur air, Departemen Dalam Negeri mengurusi pentarifan air, Departemen Kehutanan bertanggung jawab terhadap konservasi sumber daya air, sedangkan masalah kualitas air oleh Departemen Kesehatan. Banyaknya institusi yang terlibat dan tumpang-tindihnya pengambilan kebijakan tentang air oleh berbagai departemen yang ada ditambah lagi dengan kurangnya koordinasi antara institusi tersebut menyebabkan kegagalan program pembangunan Indonesia di sektor air.

2. Buruknya Kinerja PAM/PDAM
Air minum perpipaan sebagai sistem pelayanan air minum yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Sebagian besar PDAM mengalami kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM, utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain). Biaya produksi tergantung dari sumber air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif.
PDAM belum mandiri karena campur tangan pemilik (Pemda) dalam manajemen dan keuangan, cukup membebani PDAM. Sumber daya manusia pengelola PDAM umumnya kurang profesional sehingga menimbulkan inefisiensi dalam manajemen. Dari segi keuangan, tarif air saat ini tidak bisa menutup biaya operasi PDAM, sehingga PDAM mengalami defisit kas, dan tidak mampu lagi menyelesaikan kewajibannya. PDAM masih mempunyai hutang jangka panjang yang cukup besar dan tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan.

3.2  Dampak Kelangkaan Sumber Daya Air   Terhadap Kegiatan Ekonomi
Krisis air bersih yang berkepanjangan menyebabkan dampak yang buruk pada segala hal. Dalam masalah kekurangan air, negara-negara miskin paling banyak merasakan dampaknya. Negara-negara ini membutuhkan air dalam jumlah besar untuk bidang irigasi, domestik dan industri. Air adalah kebutuhan mendasar manusia, tanpa air lingkungan akan kering dan manusia akan mati. Ada beberapa penyebab merebaknya masalah krisis air ini, salah satunya kegagalan beberapa negara untuk meregulasi, mengatur dan menjaga kelestarian air, selain itu juga pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat. Penggunaan sumber air bawah tanah yang tak terbatas juga memicu krisis air. Selama ini, manusia telah memanfaatkan air sebagai satu-satunya “benda” yang tak dapat tergantikan oleh benda lain. Namun usaha untuk penyediaan air bersih belum banyak dilakukan.
Masalah ketersediaan air bersih ini menimbulkan masalah yang pelik pada sektor kesehatan. Di Indonesia terdapat empat dampak kesehatan besar disebabkan oleh pengelolaan air dan sanitasi yang buruk, yakni diare, tipus, polio dan cacingan.
Masalah air bersih yang memenuhi syarat kesehatan tidak hanya dialami oleh masyarakat umum, tetapi juga sering dialami oleh masyarakat industri khususnya industri kecil dan menengah yang bergerak di dalam industri proses khususnya proses pengolahan makanan dan minuman serta proses yang berhubungan dengan senyawa kimia. Masalah air bersih yang kurang memenuhi syarat tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas produk. Sebagai contoh di dalam industri makanan dan minuman jika air yang digunakan kurang baik maka produk yang dihasilkan juga kurang baik, apalagi jika air yang digunakan tidak steril maka produk yang dihasilkan dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen yang mana dapat membayakan konsumen.
Tanpa air, tidak ada usaha kecil maupun industri global dapat berfungsi.  Peternakan dan  agribisnis tidak dapat berproduksi. Kualitas air yang buruk, akses yang terbatas atau tidak dapat diandalkan berarti masyarakat harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk semua bisnis. Kelangkaan air beresiko lebih besar untuk kelangsungan hidup jangka panjang masyarakat dan dampak negatif terhadap daya saing mereka. Hal ini juga berarti bahwa kemampuan masyarakat untuk tumbuh dan menciptakan lapangan kerja menjadi rendah.  Jika tidak dikelola dengan baik, kelangkaan air secara langsung akan mempengaruhi kemampuan lokal untuk tumbuh dan menciptakan lapangan kerja. Banyak perusahaan yang sudah mempertimbangkan sumberdaya air ketika membuat keputusan tentang dimana mereka akan menginvestasikan uangnya, para investor mempertimbangkan daerah yang memliki resiko air terendah. Ketika sumber daya air yang tidak sehat atau tidak dapat diandalkan, bisnis tidak dapat tumbuh dan tidak dapat mempekerjakan atau mempertahankan tenaga kerja. Perdagangan lokal menderita, pendapatan menurun.
Kurangnya infrastruktur air dan sanitasi yang layak mengkonstriksi pertumbuhan ekonomi di mana pertumbuhan yang paling dibutuhkan. Sumber daya air merupakan aset penting, dan secara efektif mengelola dan memanfaatkan air adalah tanggung jawab ekonomi bersama bisnis dan industri, pertanian dan pabrik-pabrik, individu dan masyarakat. Pengelolaan sumber daya air merupakan kebutuhan mendesak dan berkembang. Solusi yang berarti dan berdampak akan  menentukan arah yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan di kota-kota di seluruh dunia.
3.3  Cara Mengatasi Kelangkaan Sumber Daya Air
Begitu pentingnya air bagi kehidupan manusia, maka kelangkaan air harus lah dicari solusi untuk mengatasi kelangkaan tersebut. Ada beberapa solusi yang bisa di ambil untuk menangani masalah kelangkaan air di Indonesia ini yaitu
a.  Pembangunan Infrastruktur dan Manajemen Pengelolaan Air
Penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah petani sudah pasti ketergantungan keberadaan akan air sangat besar. Ketersediaan air yang cukup bagi petani akan menjadikan penghasilan petani meningkat dan sudah pasti megurangi angka kemiskinan. Konsep teoritis: air kita berlimpah, tanah kita subur pasti petani kita juga makmur. Semua aspek kehidupan keluarga petani mulai dari pendidikan, kesehatan dan kemudahan lainnya dengan sendirinya akan membaik kalau konsep teoritis ini diimplementasikan dalam bentuk program fisik yang tepat sasaran. Kalau kita perpikir secara nasional masa kini dan masa depan maka pembangunan infrastruktur dan manajemen pengelolaan air semestinya selalu mendapat prioritas utama dalam sektor pembangunan.
b. Potensi Cekungan Air Tanah
Potensi air tanah sebagai salah satu sumber pasokan air bersih di Indonesia mencapai sekitar 100 miliar m3 dan tersebar di seluruh daratan Indonesia. Potensi yang cukup melimpah tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Kepala Badan Geologi Departemen ESDM, R Sukhyar (2009) memaparkan, saat ini Indonesia tercatat memiliki cekungan air tanah (CAT) sebanyak 421 buah. Cekungan air tanah tersebut meliputi 4 CAT lintas negara, 35 CAT lintas provinsi, 176 CAT lintas kabupaten/kota, dan 206 CAT di dalam kabupaten/kota. Ketersediaan data dan informasi keairtanahan, menurut R Sukhyar, merupakan hal mendasar yang diperlukan untuk memahami kondisi air tanah guna menunjang perencanaan pendayagunaan air tanah untuk mewujudkan pemanfaatan air tanah yang optimal dan berkelanjutan. Dalam hal ini, Badan Geologi sebagai instansi pusat, memiliki peran penting untuk pelaksanaan pendayagunaan air tanah, yaitu melakukan penelitian, penyelidikan, rekayasa teknologi dan rancang bangun, dan pemetaan tematik air tanah. Keberhasilan pelaksanaan pendayagunaan air tanah sangat ditentukan oleh keterpaduan dan koordinasi dari para pemangku kepentingan.
c. Desalinasi Air Laut
Desalinasi air laut merupakan teknologi canggih masa kini. Dimana teknologi ini merupakan teknologi pemisahan garam dari air laut. Sehingga dapat dihasilkan air bersih yang dapat digunakan untuk minum maupun memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat ang berada di pesisir laut. Akan tetapi kelemahan dari penggunaan desalinasi air laut ini adalah biaya yang dikeluarkan akan sangat tinggi.
d. Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting)
Sistem pemanenan air hujan merupakan salah satu alternatif dalam mengahdapi krisis air. Sistem ini merupakan sistem yang sangat cocok diterapkan dikarenakan caranya tidak rumit, setiap rumah tangga dapat mempraktekkan. Untuk setiap rumah tangga, prosesnya hanya dengan menampung air hujan dari atap ataupun air hujan yang jatuh untuk kemudian air tersebut dapat digunakan di saat musim kemarau. Berikut merupakan peralatan yang dibutuhkan untuk memanen air hujan skala rumah tangga.  Di samping proses pemanenan air hujan yang dapat dilakukan di setiap rumah tangga masing – masing. Pemerintah dalam hal ini juga dapat memanen air hujan dengan menambah embung atau tampungan air hujan.
e. Konservasi sumber daya air
Untuk menjaga agar sumber air tetap lestari dan tetap terjaga sampai anak cucu, maka perlu diadakannya kegiatan konservasi atau perlindungan dan pelestarian sumber daya air, kegiatan tersebut berupa:
1.         Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air
2.          Pengendalian pemanfaat sumber air
3.         Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi
4.         Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air
5.         Pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu
6.         Rehabilitasi hutan dan lahan, dan atau
7.         Pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam.
f.  Reformasi Rekayasa dan Kekaryaan PDAM
Mencermati begitu banyak masalah di tubuh PDAM, semestinyalah ada reformasi rekayasa dan kekaryaan. Dua hal itu adalah penentu mutu layanannya. Reformasi rekayasa perlu dilakukan karena jumlah air kian susut dan mutunya memburuk. Air bakunya kaya zat berbahaya-beracun. Terlebih lagi teknologi PDAM tidak mampu menangani zat tersebut. Fokus PDAM hanya kualitas fisika dan bakteriologi. Sebagian kecil di sektor kimiawi. Itu pun sebatas penurunan kadar besi, mangan dan kesadahan. Banyak instalasinya yang tak berdaya mengolah senyawa kimia seperti pestisida dan logam-logam berat. Padahal justru zat inilah yang banyak saat ini. Juga ada titik lemah yang menyebabkan interpretasinya keliru (misleading) pada monitoring air baku, yakni acuannya hanya parameter konvensional, tidak mempertimbangkan parameter lainnya seperti logam berat dan pestisida. Jadi, reformasi rekayasa tak bisa ditawar-tawar lagi. Aplikasi teknologi membran adalah satu di antara beberapa solusinya walaupun mahal namun menguntungkan dalam jangka panjang. Beberapa yang bisa diterapkan adalah reverse osmosis, ultrafiltrasi, dan nanofiltrasi.
Di tingkat internal pun muncul konflik yang menyangkut profesionalisme. Sampai kini PDAM dikelola oleh pemda setempat berupa BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Kepala daerah punya hak prerogatif dalam menyusun direksi dan jajarannya. Di titik simpul inilah sering terjadi friksi berkaitan dengan posisi kunci, sebagai decision maker dan menimbulkan ketegangan di tingkat elitenya. Oleh karena itu, formula direksi dan jajarannya perlu direformasi agar warga yakin bahwa PDAM memang institusi profesional berorientasi kerakyatan. Artinya, ada figur familiar dalam bidang teknologi perairbersihan sebagai pengendalinya. Termasuk unjuk etika profesional dalam bersaing bebas (free fight ethics) dan tanpa main uang (money politics). Selain bervisi marketing, juga wajib memahami rekayasa sistem pengolahan dan integritasnya telah teruji, bebas moral hazard. Selain reformasi internal, ada cara lain untuk meningkatkan profesionalitas sektor air bersih ini, yaitu penswastaan (privatisasi).
Dengan adanya upaya pengendalian yang dilakukan secara meneluruh meliputi upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Perencanaan pengendalian daya rusak air disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air. Pengendalian yang melibatkan peran serta aktif dari masyarakat dan pemerintah daerah serta pengelola sumber daya air wilayah sungai dan masyarakat diharapkan masalah kelangkaan sumber daya air dapat teratasi dan keberadaan sumberdaya air dapat tetap lestari dan berkelanjutan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
1.          Air merupakan sumber daya yang vital bagi kehidupan. Ketersediaan sumber daya air bersih memang sedang dalam kondisi yang memprihatinkan.
2.          Penyebab kelangkaan air di Indonesia adalah perilaku manusia terhadap lingkungan, kerusakan lingkungan, serta pengelolaan lingkungan yang kurang baik.
3.          Dampak dari kelangkaan air bersih berupa dampak bagi kesehatan yaitu timbulnya penyakit dan dampak ekonomi yaitu tanpa adanya air kegiatan produksi terutama makanan tidak dapat beroperasi, menurunkan kualitas produk serta menambah biaya untuk kegiatan usaha.
4.           Upaya untuk mengatasi masalah kelangkaan air bersih adalah Pembangunan Infrastruktur dan Manajemen Pengelolaan Air, Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting), Desalinasi Air Laut, Konservasi sumber daya air, Potensi Cekungan Air Tanah

4.2 Saran
1.           Masyarakat seharusnya mempunyai kesadaran yang tinggi akan pengelolaan sumber daya air bersih secara optimal lestari.
2.           Pemerintah seharusnya bisa bekerja sama dengan masyarakat terkait pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.








DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Bunga Irada dan  Agung Sugiri. 2014. Ketersediaan Air Bersih Dan Perubahan Iklim: Studi Krisis Air Di Kedungkarang Kabupaten Demak dalam jurnal Teknik PWK Volume 3 No 2 2014 hal. 295-302

Rohani. 2012.Buku Ajar Ekonomi Sumber Daya. Makasar: Lembaga Kajian Dan Pengembangan Pendidikan Universitas Hasanudin
Thioritz, Stevy.2010. Kajian Solusi Krisis Air Bersih di Indonesia. Mediatek  volume 4, No 1 Mei 2010 hal 38-43
Kekeringan air di prambanan. Di akses pada 17 september 2014 melalui  http://regional.kompas.com/read/2014/09/12/15524721/Kekeringan.Warga.Prambanan.Mengais.Air.di.Ceruk.Tebing

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB P2) sebagai Pajak Daerah serta Kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan usaha terencana dan terarah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia yang menuntut adanya perubahan sosial budaya sebagai pendukung keberhasilannya dan menghasilkan perubahan sosial budaya. Pembangunan nasional adalah suatu harapan untuk rakyat Indonesia yang mencita-citakan Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera baik secara moral maupun spiritual.
Pemerintah Indonesia melakukan perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Perubahan tersebut memberikan harapan yang besar bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sistem desentralisasi ini dilaksanakan dengan melalui kebijakan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pemerintah daerah melaksanakan roda pemerintahan secara mandiri, tetapi tetap melakukan kordinasi dan pengawasan dari pemerintah pusat. Diharapkan dengan otonomi daerah ini, bisa membuat pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya. Pemerintah daerah bisa dengan cepat melakukan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat tanpa menunggu arahan dari pemerintah pusat.
Salah satu hal yang sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan pada otonomi daerah yaitu masalah pendanaan. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Kebijakan fiskal ini memberikan pengaruh yang signifikan dalam pengelolaan pemerintahan secara mandiri ketika pemerintah daerah memaksimalkan kebijakan ini untuk mengoptimalkan pendapatan dari daerahnya sendiri. Adanya kebijakan desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali dan mengoptimalkan sumber daya yang ada di daerahnya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Konsekuensi dilaksanakannya otonomi daerah ini adalah diberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kewenangan yang lebih besar ini akan membutuhkan biaya yang begitu besar. Diharapkan dengan banyaknya biaya yang dibutuhkan ini, pemerintah daerah tidak bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah diharapkan dapat  mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada daerahnya agar tidak terlalu bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Salah satu langkah yang dapat diambil yaitu melalui kebijakan fiskal. Kebijaksanaan fiskal berarti penggunaan pajak, pinjaman masyarakat, pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi atau pembangunan.
Kebijakan fiskal khususnya perpajakan bisa membantu dalam menopang jalannya otonomi daerah, maka pemerintah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Undang-Undang ini merupakan salah satu langkah pemerintah pusat dalam membantu pelaksanaan otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan desentralisai fiskal dalam bidang perpajakan. Hal itu ditunjukkan dengan pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut.
 Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini, maka seluruh kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) menjadi salah satu sumber pendapatan yang sangat potensial bagi daerah (kabupaten/kota).
Pengalihan pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah mempunyai kekuasaan penuh untuk mengelola hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) tanpa di bagi kepada pemerintah pusat. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dan meningkatkan pelayanan publik serta penyelenggaran pemerintahan. Selain itu juga dengan adanya kebijakan ini diharapkan pemerintah daerah menjadi lebih mandiri dalam pembiayaannya.
Pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 tidak langsung dilakukan serentak di seluruh kabupaten/kota di Indonesia melainkan dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011 hanya kota Surabaya yang telah mendapat pengalihan atas pengelolaan PBB P2. Tahun 2012, ada 17 kabupaten/kota yang menyatakan diri siap untuk mengelola PBB P2. Sebanyak 105 kabupaten/kota menyatakan siap untuk mengelola PBB P2 pada tahun 2013 dan 369 kota/kabupaten lainnya yang belum menerima pengalihan PBB P2, pada tahun 2014 seluruh kabupaten/kota di Indonesia sudah sepenuhnya melakukan pengelolaan PBB P2.
Kota Semarang merupakan salah satu kota yang menerima pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah pada tahun 2012. Pemungutan PBB P2 dilaksanakan oleh pemerintah kota mulai tahun 2012 atas dasar Perda Nomor 13 tahun 2011 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.  Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang sebagai dinas daerah yang diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola penerimaan daerah yang berasal dari pos penerimaan daerah. Pemerintah setiap tahunnya memiliki target dalam penerimaan PBB P2 sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Dibawah ini merupakan target penerimaan PBB P2 Kota Semarang.
Tahun
Target Sebelum Perubahan APBD
Target Setelah Perubahan APBD
2012
Rp. 175.000.000.000
Rp. 159.000.000.000
2013
Rp. 175.000.000.000
Rp. 170.000.000.000
Tabel 1. Target Penerimaan PBB P2 Kota Semarang Sebelum dan Setelah Perubahan APBD





Sumber: APBD Sebelum dan Setelah Perubahan Kota Semarang Tahun 2012-2013
Adanya kekurangsiapan Pemerintah Kota Semarang dalam melaksanakan pengalihan PBB Perkotaan menyebabkan kurang maksimalnya realisasi penerimaan yang tidak bisa mencapai target yang telah ditentukan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan target berupa penurunan ketetapan target dalam pengelolaan PBB Perkotaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang pada tahun 2012-2013. Realisasi penerimaan pajak terkadang tidak sesuai dengan  target yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah sehingga diperlukan adanya penilaian efektivitas untuk melihat keberhasilan pemungutan PBB P2 sebagai pajak daerah sehingga diharapkan  mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap PAD.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis mengangkat judul “Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB P2) Sebagai Pajak Daerah serta Kontribusinya Terhadap  Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan pengalihan PBB P2 sekaligus membahas efektivitas serta kontribusinya bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan yaitu
1.      Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah di Kota Semarang?
2.      Bagaimana efektivitas pemungutan PBB P2 sebagai pajak daerah di Kota Semarang?
3.      Bagaimana kontribusi PBB P2 terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Semarang tahun 2012 dan 2013 ?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan pengalihan pajak bumi bangunan perdesaan perkotaan sebagai pajak daerah di Kota Semarang
2.      Untuk mengetahui kontribusi pengalihan PBB P2 pada Penerimaan Asli Daerah kota Semarang tahun 2012 dan 2013.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah
1.      Bagi mahasiswa untuk menambah khasanah bacaan sekaligus sebagai bahan kajian selanjutnya.
2.      Bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pengalaman analisis kebijakan, karya ilmiah dan mengaplikasikan teori-teori yang sudah di dapat di bangku perkuliahan.
3.      Bagi Pemerintah sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pemerintah untuk penetapan kebijakan yang akan datang yang akan berkaitan dengan perpajakan.












BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1  Desentralisasi fiskal
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan Negara. Untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan. Besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom akan menciptakan iklim pemerintahan daerah yang merata di masyarakat (Farida, 2011:348-349).

2.2  Pajak
Menurut Guritno, pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogative pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukan penggunaannya.
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi (Mardiasmo 2011 : 1), yaitu :
1.       Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2.      Fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.




2.3  Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Menurut undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah
a.         jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan.
b.        jalan tol
c.         kolam renang
d.        pagar mewah;
e.          tempat olahraga;
f.          galangan kapal, dermaga;
g.         taman mewah;
h.        tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas,
i.          pipa minyak; dan
j.           menara.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).

2.4         Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim (2004:94) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri dari:
a.       Hasil pajak Daerah.
b.      Hasil retribusi Daerah.
c.       Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan.
d.      lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerahnya sendiri. Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengoptimalkan penerimaan pendapatan daerahnya. Hal tersebut sebagai upaya untuk menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda (otonomi daerah) sebagai perwujudan asas desentralisasi.
2.5         Efektifitas Pemungutan PBB P2
Mardiasmo (2009:132) menjelaskan efektivitas merupakan kontribusi output terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan spending wisely (sasaran akhir kebijakan). Mardiasmo (2009:132) menjelaskan indikator efektivitas menggambarkan jangkauan akibat dan dampak (outcome) dari keluaran (output) program dalam mencapai tujuan program. Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan, maka semakin efektif proses kerja yang dilakukan suatu unit organisasi. Selanjutnya, Halim (2004:164) mengemukakan tingkat efektivitas dapat diketahui dari hasil hitung formula efektivitas. Formula untuk mengukur efektivitas terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara realisasi pajak dengan target pajak:
Tabel 2. Kriteria Penilaian Efektivitas
Prosentase
Kriteria
Di atas 100%
Sangat efektif
90-100%
Efektif
80-90%
Cukup efektif
60-80%
Kurang efektif
Kurang dari 60%
Tidak efektif
Sumber: Munir, (2004:49).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kontribusi yang dihasilkan oleh output (keluaran) terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya, dengan mengetahui efektivitas intensifikasi pemungutan PBB-P2, organisasi diharapkan mampu untuk menilai tingkat keberhasilannya dalam mencapai tujuan yang telah ditargetkan sebelumnya.
2.6         Kontribusi PBB P2 terhadap PAD
Menurut Guritno (1992:76) kontribusi adalah sesuatu yang diberikan secara bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sedangkan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia kontribusi adalah sumbangan. Sehingga kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaaan (PBB-P2) terhadap besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Halim (2004:163) merumuskan formula untuk menghitung tingkat kontribusi PBB-P2 terhadap PAD adalah:

Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan realisasi PBB-P2 terhadap PAD, dapat diketahui besarnya kontribusi PBB-P2 terhadap PAD. Semakin tinggi kontribusi PBB-P2 terhadap PAD, maka akan mendorong meningkatnya PAD. Berikut ini penilaian kriteria kontribusi PBB-P2 terhadap PAD:
Tabel 3. Interpretasi Nilai Kontribusi PBB-P2 Terhadap PAD
Prosentase
Kriteria
Rasio 0,00 – 10,00%
Sangat Kurang
Rasio 10,10 – 20,00%
Kurang
Rasio 20,10 – 30,00%
Sedang
Rasio 30,10 – 40,00%
Cukup
Rasio 40,10 – 50,00%
Baik
Rasio di atas 50,00%
Sangat Baik
Sumber: Tim Litbang Pemdagri Fisipol UGM, 1991 (Mariana, 2005).

2.7         Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan terhadap makalah ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ferian Dana Pradita dkk, yang berjudul “Efektivitas Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya”. Hasil penelitian tersebut adalah efektifitas intensifikasi dari PBB P2 di Kota Surabaya termasuk dalam criteria cukup efektif. Realisasi penerimaan PBB Perkotaan dari tahun 2011-2013 menunjukan peningkatan setiap tahunnya, namun peningkatan tersebut juga diiringi oleh peningkatan penerimaan PAD Kota Surabaya, sehingga jika dilihat dari besarnya prosentase kontribusi PBB Perkotaan terhadap PAD Kota Surabaya menunjukan penurunan dari tahun 2011-2013.
Penelitian kedua dilakukan oleh Voni Lestari dengan judul  “Analisis Pengaruh Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (PBB P2) terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Kota Kediri Tahun 2012 Dan 2013”. Hasil dari penelitian tersebut pengalihan PBB P2 menaikkan pendapatan asli kota Kediri.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Ida Ayu Metha Apsari Prathiwi, Nyoman Trisna Herawati,  Ni Luh Gede Erni Sulindawati dalam jurnal yang berjudul “Analisis Strategi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (Pbb P2) Serta Efektivitas Penerimaannya Di Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2013-2014”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kendala yang dialami oleh pemerintah kota Denpasar adalah karena PBB P2 merupakan pajak baru sehingga pemda mengalami kesulitan dalam pengelolaannya, aplikasi SISMIOP yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak berjalan dengan baik, sarana dan prasarana yang kurang memadai serta membutuhkan biaya yang besar, serta sumber daya manusia yang tidak optimal dalam memberikan pelayanan. Pemerintah kota Denpasar melakukan tiga tahapan strategi yaitu tahap perencanaan strategi, pelaksanaan strategi, dan evaluasi strategi. Penerimaan PBB P2 kota Denpasar tergolong sangat efektif dengan presentase di atas seratus persen.






BAB III
PEMBAHASAN
3.1         Pelaksanaan Kebijakan Peralihan PBB P2 sebagai Pajak Daerah di Kota Semarang
Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah di bentuk dalam rangka meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Daerah telah diberikan kewenangan untuk memungut pajak (taxing power). Ada empat perubahan fundamental yang diatur dalam undang-undang tersebut. Salah satu diantara perubahan tersebut adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah, penambahan jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah dan pemberian diskresi kepada daerah untuk menetapkan tarif sesuai dengan batas tarif maksimum dan minimum yang telah ditentukan.
Diterbitkannya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009, pemerintah daerah mempunyai tambahan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru, sehingga jenis pajak kabupaten atau kota bertambah dari tujuh menjadi sebelas jenis pajak. Penambahan pos pajak dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota pada UU No.34/2000 dengan UU No. 28/2009
UU No.34 tahun 2000
UU No.28 Tahun 2009
1.      Pajak Hotel
2.      Pajak restoran
3.      Pajak hiburan
4.      Pajak reklame
5.      Pajak penerangan jalan
6.      Pajak parkir
7.      Pajak pengambilan bahan galian Gol.C
1.      Pajak Hotel
2.      Pajak restoran
3.      Pajak hiburan
4.      Pajak reklame
5.      Pajak penerangan jalan
6.      Pajak parkir
7.      Pajak material bukan logam dan batuan
8.      Pajak air tanah
9.      Pajak sarang burung wallet.

Salah satu jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah adalah Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pada awalnya PBB P2 merupakan pajak pusat yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Namun  untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khususnya dari penerimaan PBB, maka paling lambat pada tanggal 1 Januari 2014 seluruh proses pengelolaan PBB-P2 akan dilakukan oleh pemda. Sedangkan, PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih tetap menjadi pajak pusat.
Adapun alasan pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara lain:
a.       PBB-P2 dapat dipungut oleh daerah karena lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile),dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut.
b.      Pengalihan PBB-P2 kepada daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD dan memperbaiki struktur APBD.
c.        Pengalihan PBB-P2 kepada daerah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.
d.      Berdasarkan praktek di banyak negara, PBB-P2 termasuk dalam jenis local tax.
Tujuan dari dialihkannya PBB P2 dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah menambah jenis pajak di daerah. Dengan bertambahnya jenis pajak di daerah diharapkan Pemerintah Daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Pemerintah Daerah juga memiliki kewenangan dalam penetapan tarif PBB P2 yang dituangkan dalam Perda di daerah masing-masing. Serta menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah yang merupakan cerminan dari desentralisasi fiskal. Dengan pengelolaan PBB P2 sebagai pajak daerah diharapkan pengelolaan dapat dilaksanakan dengan optimal karena Pemerintah Daerah lebih dekat pada masyarakatnya sehingga lebih memahami karakteristik serta keadaan di wilayahnya bila dibandingkan dengan Pemerintah Pusat, serta dapat meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pengalihan PBB P2 dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah memberikan banyak keuntungan bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola daerahnya secara otonom.
Penerimaan PBB-P2 setelah adanya pengalihan ke pemda akan sepenuhnya masuk ke pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 %. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah (www.pajak.go.id).
Dikota Semarang pemungutan PBB P2 dilaksanakan oleh Pemerintah Kota mulai Tahun 2012 atas dasar Perda Nomor 13 Tahun 2011 Sebagai Turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Definisi PBB Perkotaan menurut Perda tersebut adalah “pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan”. Peraturan Daerah tentang PBB Perkotaan tersebut dibentuk sebagai operasionalisasi serta sebagai syarat yang harus disiapkan apabila melakukan pemungutan PBB P2 secara mandiri oleh Pemerintah Kota Semarang. Dengan adanya Peraturan Daerah tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pelayanan umum. Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang sebagai dinas daerah yang diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola penerimaan daerah yang berasal dari pos penerimaan daerah. Pemda memiliki kewenangan dalam kegiatan yang terkait dengan PBB-P2 menjadi milik Pemerintah Daerah, hal itu meliputi proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan terkait PBB P2.
Pada pelaksanaanya masih terdapat kendala dalam pemungutan PBB P2 di kota Semarang. Kurangnya kesiapan daerah dalam transisi perpindahan pajak pusat menjadi pajak daerah sehingga menjadikan kurang maksimalnya penerimaan pajak didaerah. Pemerintah Kota Semarang belum memiliki sarana dan prasarana yang sesuai untuk menunjang perolehan penerimaan PBB P2 seperti sistem database Wajib Pajak, gedung pelayanan PBB, pengorganisasian petugas untuk menangani pelayanan PBB, serta hal-hal yang bersifat teknis yang penting dalam penyelenggaraan pemungutan PBB Perkotaan. Selain sarana dan prasarana, kesiapan sumberdaya manusia dalam hal pengelolaan PBB didaerah juga masih kurang. Petugas penarik pajak tersebut memerlukan pendidikan  dan pengelolaan PBB P2  yang tergolong masih baru di daerah.(Aji 2014:3)
Dalam menjalankan kewenangannya, pemeritah kota Semarang memiliki target pencapaian penerimaan PBB P2. Akan tetapi target tersebut mengalami perubahan pasca di berlakukannya Undang-Undang PDRD dan Perda Kota Semarang Nomor 13 Tahun 2011.
Tahun
Target Sebelum Perubahan APBD
Target Setelah Perubahan APBD
2012
Rp. 175.000.000.000
Rp. 159.000.000.000
2013
Rp. 175.000.000.000
Rp. 170.000.000.000
Tabel 5. Target  PBB Perkotaan Kota Semarang Sebelum dan Setelah Perubahan APBD Tahun 2012 dan 2013
Sumber:  Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang Tahun 2013

Target penerimaan sebelum adanya perubahan APBD Pada tahun 2012 dan 2013 adalah 175 milyar rupiah, akan tetapi setelah perubahan APBD kota Semarang  target penerimaan PBB perkotaan diturunkan menjadi 159 milyar rupiah pada tahun 2012 dan 170 milyar rupiah pada tahun 2013. Penyebab penurunan target penerimaan PBB perkotaan tersebut adalah kurang siapnya pemerintah Kota Semarang dalam melaksanakan pengalihan PBB P2 sehingga realisasi target tidak bisa mencapai target yang telah di tentukan. Penurunan target penerimaan tersebut sebenarnya tidak seharusnya dilakukan. Diberlakukannya undang-undang dan perda tersebut pemda memiliki kewenangan penuh untuk mengoptimalkan pemungutan PBB P2 sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih terhadap PAD Kota Semarang karena pemerintah kota dapat mengelola secara mandiri PBB Perkotaan.
3.2         Efektivitas Pemungutan PBB P2 di Kota Semarang
Salah satu indikator keberhasilan dalam melaksanakan pemungutan pajak adalah tercapainya rencana target penerimaan yang telah ditetapkan. Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pemungutan pajak maka dilakukan penilaian efektivitas terhadap pemungutan PBB P2. Efektivitas merupakan suatu penilaian terhadap proses untuk mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat efektivitas penerimaan PBB P2 Kota Semarang dapat dilakukan dengan membandingkan antara target yang telah ditentukan dengan realisasi penerimaan PBB P2 pada tahun yang sama.
Tabel 6. Target, Realisasi dan Efektivitas Penerimaan PBB Perkotaan Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013

Tahun
Target
Realisasi
Efektivitas
2012
Rp. 159.000.000.000
Rp 161.334.468.066
101.46 %
2013
Rp. 170.000.000.000
Rp 185.173.747.490
108.95%
Sumber:  Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang Tahun 2013

Kota Semarang pada tahun pertamanya melaksanakan pemungutan PBB Perkotaan menetapkan target penerimaan sebesar 175 Miliar, akan tetapi ketetapan target tersebut dilakukan perubahan diturunkan sebesar 16 Miliar menjadi sebesar 159 Miliar. Dengan ketetapan target yang lebih rendah dari ketetapan target awal Pemerintah Kota Semarang berhasil melampaui target yang ditetapkan dengan presentase 101,46% atau sebesar Rp 161.334.468.066 dari target 159 Miliar.
Pada tahun 2013 realisasi penerimaan pajak PBB perkotaan kota Semarang adalah sebesar Rp 185.173.747.490. Realisasi penerimaan pajak tersebut telah melampaui target yang telah di tetapkan baik target awal yaitu 175 milyar maupun target perubahan sebesar 170 milyar dengan presentase efektivitas sebesar 108.95% dari target perubahan.
 Besarnya realisasi penerimaan PBB P2 Kota Semarang pada tahun 2013 juga disebabkan karena adanya upaya-upaya yang dilaksanakan pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan realisasi penerimaan PBB Perkotaan. Kota Semarang lebih cenderung mengunakan upaya-upaya preventif dalam pelaksanaan pemungutannya. Upaya preventif merupakan tindakan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi atau mencegah sebelum terjadi. Dalam hal ini upaya preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya tunggakan pembayaran PBB Perkotaan agar pembayaran dilaksanakan sebelum masa jatuh tempo pembayaran. Sehingga wajib pajak tidak mendapatkan sanksi, baik sanksi yang ringan yakni sanksi administratif sampai dengan sanksi yang paling berat yakni dilakukan penyitaan. Upaya tersebut berupa program atau kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan realisasi penerimaan antara lain pekan panutan, operasi bhakti, operasi sisir, program undian berhadiah untuk wajib pajak PBB Perkotaan, serta kegiatan lainnya.(Aji 2013:11)
Pekan Panutan merupakan salah satu bentuk kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan di Kota Semarang. Kegiatan ini diikuti oleh para wajib pajak baik dari jajaran Pemerintah Kota Semarang, pengusaha maupun warga masyarakat. Kegiatan Pekan Panutan dilaksanakan lebih awal sebelum jatuh tempo pembayaran dengan sasaran memberikan keteladanan atau panutan kepada wajib pajak PBB Perkotaan untuk melakukan pembayaran PBB tepat pada waktunya. Para pejabat publik yang diharapkan dapat menjadi panutan serta tauladan dalam melaksanakan pembayaran PBB sebelum jatuh tempo dimulai dari lurah, camat, serta jajaran pejabat Pemerintah Kota Semarang.
Upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan yang dilaksanakan DPKAD adalah dengan melaksanakan kegiatan operasi bhakti yang bertujuan untuk mempermudah wajib pajak dalam melakukan pembayaran pajak terutangnya sebelum masa jatuh tempo, hal ini dilakukan dengan cara mendekatkan tempat pembayaran kepada wajib pajak. Petugas dari DPKAD lebih cenderung bersifat aktif dalam melaksanakan pemungutan dengan berkeliling ditempat-tempat yang telah ditentukan sebelumnya.
Kegiatan lain yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengoptimalkan penerimaan PBB Perkotaan di Kota Semarang adalah operasi sisir. Sistem kerja dari operasi sisir diadopsi dari sistem operasi bhakti, namun operasi sisir dilaksanakan setelah jatuh tempo pembayaran atau 6 bulan setelah diterimanya SPPT PBB Perkotaan. Wajib pajak diberikan kemudahan dalam melaksanakan pembayaran PBB dengan mendekatkan tempat pembayaran sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Perbedaan lain dari operasi sisir ini adalah masyarakat yang melaksanakan pembayaran PBB dikenakan sanksi 2% perbulan selama maksimal 24 bulan. Hal ini dikarenakan atas dasar aturan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang yang mengatur sanksi bagi wajib pajak yang terlambat melaksanakan pembayaran pajak terutangnya.
Program undian berhadiah untuk wajib pajak PBB Perkotaan memang menjadi salah satu kegiatan baru dari Pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan. Kegiatan ini dimulai pada tahun 2012 yang sifatnya mengajak para wajib pajak PBB Perkotaan untuk melaksanakan pembayaran sebelum masa jatuh tempo. Sebagai salah satu bentuk penghargaan bagi wajib pajak yang telah melaksanakan pembayaran sebelum jatuh tempo, Pemerintah Kota Semarang memberikan reward atau hadiah berupa kesempatan mengikuti undian berhadiah yang dilaksanakan Pemerintah Kota Semarang.
Selain upaya-upaya yang bersifat internal yang dilaksanakan pada jajaran Pemerintah Kota Semarang. Juga dilaksanakan upaya lain yang melibatkan masyarakat. Salah satunya adalah dengan melakukan koordinasi ditingkat kelurahan dan kecamatan agar menjadikan bukti setoran pembayaran pajak bumi dan bangunan perkotaan sebagai salah satu syarat dapat dilaksanakannya pelayanan-pelayanan administratif di tingkat kelurahan dan kecamatan, dengan demikian bagi setiap warga masyarakat yang menginginkan pelayanan administratif dari instansi tersebut wajib melampirkan bukti setoran pembayaran PBB sebagai syaratnya.
 Pencapaian target yang selalu melebihi 100% ini menunjukan bahwa pemerintah kota semarang sudah sangat efektif dalam pemungutan PBB P2.  Akan tetapi adanya penurunan target dari target awal menjadikan pemda kurang bisa mengoptimalkan penerimaan PBB P2 sebagai Pajak daerah.

3.3         Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang
Adanya pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah ini salah satunya bertujuan untuk memperluas objek pajak daerah sehingga diharapkan akan menambah pendapatan asli daerah karena 100% hasil pendapatan dari PBB P2 tersebut akan masuk ke daerah. Dengan adanya kenaikan pada PAD diharapkan daerah lebih mandiri dan mampu dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Dibawah ini adalah tabel kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang.
Tabel 7. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang
Tahun
Realisasi PBB Perkotaan
Realisasi PAD
Kontribusi PBB P2 terhadap PAD
2012
Rp 161.334.468.066
Rp 786.563.411.659
20.51 %
2013
Rp 185.173.747.490
Rp 930.577.133.513
19.89 %
Sumber: Data diolah, 2013.
Adanya pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah menjadikan penerimaan asli daerah dari sektor pajak menjadi bertambah. Pada tahun 2012 realisasi PBB P2 adalah Rp 161.334.468.066 sedangkan realisasi PAD nya adalah Rp 786.563.411.659. pada tahun 2013 realisasi PBB P2 adalah Rp 185. 173.747.490 sedangkan PADnya Rp 930.577.133.513. Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan realisasi PBB-P2 terhadap PAD Kota Semarang, dapat diketahui besarnya kontribusi PBB-P2 terhadap PAD Kota Semarang. Semakin tinggi kontribusi PBB-P2 terhadap PAD, maka akan mendorong meningkatnya PAD Kota Semarang. Pada tahun 2012 kontribusi PBB P2 terhadap PAD adalah 20.51% sedangkan pada tahun 2013 kontribusinya adalah 19.89%. Pada tahun 2013 terjadi penurunan kontribusi PBB terhadap PAD. Penurunan kontribusi ini bukan berasal dari realisasi penerimaan PBB sektor perkotaan yang mengalami penurunan, akan tetapi kenaikan realisasi penerimaan PBB P2 juga diikuti oleh kenaikan PAD. Kenaikan PAD tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan yang cukup tinggi dari penerimaan retribusi daerah dan lain-lain PAD yang Sah. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD kota Semarang sebesar 20,21 % dan 18,28% ini berarti bahwa kontribusi PBB P2 terhadap pembentukan PAD kota Semarang berada pada kriteria kurang dan sedang. Hal ini menujukan bahwa, pendapatan dari pos-pos pendapatan lain seperti retribusi daerah, pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah lebih berkontribusi terhadap pembentukan PAD kota Semarang.
Pada bulan Februari 2015, muncul wacana bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan memberlakukan bebas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah huni, tempat ibadah, dan bangunan sosial mulai tahun 2016. Rencana pembayaran PBB setiap tahun hanya akan dikenakan terhadap bangunan komersil seperti rumah toko, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan restoran. Hal ini disebabkan karena hunian setiap tahun membebani masyarakat penghuni nonkomersil. Pemerintah hanya akan memungut biaya terhadap masyarakat saat awal pembelian lahan tanah atau sewa huni. Jika hal tersebut benar terjadi, maka dapat dipastikan penerimaan PBB akan berkurang. Hal ini tentunya akan mengurangi pendapatan asli daerah dan juga kontribusi PBB terhadap PAD akan semakin kecil sehingga akan mengurangi kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Disisi lain pengahapusan PBB untuk hunian non komersil tersebut akan menguntungkan masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu karena mereka tidak harus membayar pajak. Untuk itu pemerintah diharapkan mengkaji lebih lanjut perihal rencana penghapusan PBB untuk hunian non komersil. Pemerintah diharapkan tidak gegabah dalam mengambil kebijakan mengingat substansi pemungutan pajak adalah untuk dikembalikan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. 











BAB IV
PENUTUP
4.1  Simpulan
1.      Kebijakan peralihan PBB P2 menjadi pajak daerha merupakan  kebijakan yang didasarkan pad undang-undang No 28 tahun 2009 yang bertujuan memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah, menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah), memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah, dan menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.
2.      Kota semarang mulai melakukan peralihan PBB P2 sebagai pajak daerah mulai tahun 2012, akan tetapi pada pelaksanaanya masih terdapat kendala yaitu belum siapnya pemda dalam melakukan pemungutan PBB P2. Hal tersebut menjadikan realisasi target sulit dicapai sehingga pemda melakukan perubahan target pencapaian dalam APBD nya.
3.      Realisasi penerimaan PBB P2 kota Semarang sudah termasuk dalam criteria yang efektif karena realisasinya telah melebihi target perubahan yang telah ditetapkan yaitu sebesar 101,46% pada tahun 2012 dan 108.95% pada tahun 2013.
4.      Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang dari tahun 2012-2013 persentasenya menunjukan penurunan. Penurunan tersebut terjadi bukan karena realisasi penerimaan PBB P2 yang menurun. Namun peningkatan realisasi PBB P2 juga diiringi oleh peningkatan PAD. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD kota Semarang sebesar 20,21 % dan 18,28% ini menunjukan bahwa kontribusi PBB P2 terhadap pembentukan PAD kota Semarang berada pada kriteria kurang dan sedang.

4.2  Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka diperlukan saran dan rekomendasi untuk meningkatkan kualitas pemungutan PBB Perkotaan di Kota Semarang, dan rekomendasi tersebut berupa:
1.      Dalam pelaksanaan pemungutan PBB Perkotaan memerlukan sarana dan prasarana yang menunjang keberhasilannya dengan tujuan dapat tercapainya target penerimaan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu Pemerintah Kota Semarang harus menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dalam proses pengalihan PBB Perkotaan yang tidak dipersiapkan dengan baik seperti software aplikasi PBB, ruang arsip, dan gedung untuk pelayanan PBB.
2.      Perlu ditingkatkannya aturan legalitas pemungutan PBB Perkotaan ditingkat kelurahan dan kecamatan untuk mendukung upaya Pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan.
3.      Pemerintah harus lebih kreatif lagi dalam menarik perhatian wajip pajak untuk membayarkan pajak agar penerimaan pajaknya dapat lebih optimal lagi.



















DAFTAR PUSTAKA
Aji, Mohamad Nur I. 2014. “Analisis Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Semarang Tahun 2012-2013”. Jurnal Ilmu Pemerintahan: Universitas Diponogoro yang di unduh melalui http://download.portalgaruda.org/article.php?article=150682&val=4924&title=Analisis%20Pemungutan%20Pajak%20Bumi%20dan%20Bangunan%20Perkotaan%20di%20Kota%20Semarang%20Tahun%202012-2013 pada 9 maret 2015 pukul 04.00 WIB
Anonim.2013. LKPJ Walikota Semarang Tahun 2013.diunduh melalui http://beta.semarangkota.go.id/content/image/files/3.%20BAB%203%20Keuangan%20Draft%20LKPJ%202013.pdf pada 10 Maret Pukul 04.43 WIB.
Badan Pusat Statistik.2013.Kota Semarang Dalam Angka 2012. Semarang:  BPS Kota Semarang
Badan Pusat Statistik.2014.Kota Semarang Dalam Angka 2013. Semarang:  BPS Kota Semarang
Direktorat Jenderal Pajak.2012. “Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Pbb-P2) Sebagai Pajak Daerah”. Diakses melalui :http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan
Farida, Ai Siti. 2011. Sistem Ekonomi Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
Guritno. 1992. Kamus Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah :Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta, Erlangga.
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta:ANDI.
------------. 2011. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: ANDI.
Pradita,dkk. 2014. Efektivitas Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta KontribusinyaTerhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya. Jurnal  Fakultas Ilmu Administrasi: Universitas Brawijaya
Prathiwi,dkk. 2015.Analisis Strategi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (Pbb P2) Serta Efektivitas Penerimaannya Di Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2013-2014. Dalam e-Journal S1 Akuntansi Volume 3, No.1 Tahun 2015: Universitas Pendidikan Ganesha.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS