Powered by Blogger.
RSS

Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB P2) sebagai Pajak Daerah serta Kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan usaha terencana dan terarah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia yang menuntut adanya perubahan sosial budaya sebagai pendukung keberhasilannya dan menghasilkan perubahan sosial budaya. Pembangunan nasional adalah suatu harapan untuk rakyat Indonesia yang mencita-citakan Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera baik secara moral maupun spiritual.
Pemerintah Indonesia melakukan perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Perubahan tersebut memberikan harapan yang besar bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sistem desentralisasi ini dilaksanakan dengan melalui kebijakan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pemerintah daerah melaksanakan roda pemerintahan secara mandiri, tetapi tetap melakukan kordinasi dan pengawasan dari pemerintah pusat. Diharapkan dengan otonomi daerah ini, bisa membuat pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya. Pemerintah daerah bisa dengan cepat melakukan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat tanpa menunggu arahan dari pemerintah pusat.
Salah satu hal yang sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan pada otonomi daerah yaitu masalah pendanaan. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Kebijakan fiskal ini memberikan pengaruh yang signifikan dalam pengelolaan pemerintahan secara mandiri ketika pemerintah daerah memaksimalkan kebijakan ini untuk mengoptimalkan pendapatan dari daerahnya sendiri. Adanya kebijakan desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali dan mengoptimalkan sumber daya yang ada di daerahnya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Konsekuensi dilaksanakannya otonomi daerah ini adalah diberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kewenangan yang lebih besar ini akan membutuhkan biaya yang begitu besar. Diharapkan dengan banyaknya biaya yang dibutuhkan ini, pemerintah daerah tidak bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah diharapkan dapat  mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada daerahnya agar tidak terlalu bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Salah satu langkah yang dapat diambil yaitu melalui kebijakan fiskal. Kebijaksanaan fiskal berarti penggunaan pajak, pinjaman masyarakat, pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi atau pembangunan.
Kebijakan fiskal khususnya perpajakan bisa membantu dalam menopang jalannya otonomi daerah, maka pemerintah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Undang-Undang ini merupakan salah satu langkah pemerintah pusat dalam membantu pelaksanaan otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan desentralisai fiskal dalam bidang perpajakan. Hal itu ditunjukkan dengan pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut.
 Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini, maka seluruh kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) menjadi salah satu sumber pendapatan yang sangat potensial bagi daerah (kabupaten/kota).
Pengalihan pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah mempunyai kekuasaan penuh untuk mengelola hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) tanpa di bagi kepada pemerintah pusat. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dan meningkatkan pelayanan publik serta penyelenggaran pemerintahan. Selain itu juga dengan adanya kebijakan ini diharapkan pemerintah daerah menjadi lebih mandiri dalam pembiayaannya.
Pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 tidak langsung dilakukan serentak di seluruh kabupaten/kota di Indonesia melainkan dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011 hanya kota Surabaya yang telah mendapat pengalihan atas pengelolaan PBB P2. Tahun 2012, ada 17 kabupaten/kota yang menyatakan diri siap untuk mengelola PBB P2. Sebanyak 105 kabupaten/kota menyatakan siap untuk mengelola PBB P2 pada tahun 2013 dan 369 kota/kabupaten lainnya yang belum menerima pengalihan PBB P2, pada tahun 2014 seluruh kabupaten/kota di Indonesia sudah sepenuhnya melakukan pengelolaan PBB P2.
Kota Semarang merupakan salah satu kota yang menerima pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah pada tahun 2012. Pemungutan PBB P2 dilaksanakan oleh pemerintah kota mulai tahun 2012 atas dasar Perda Nomor 13 tahun 2011 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.  Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang sebagai dinas daerah yang diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola penerimaan daerah yang berasal dari pos penerimaan daerah. Pemerintah setiap tahunnya memiliki target dalam penerimaan PBB P2 sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Dibawah ini merupakan target penerimaan PBB P2 Kota Semarang.
Tahun
Target Sebelum Perubahan APBD
Target Setelah Perubahan APBD
2012
Rp. 175.000.000.000
Rp. 159.000.000.000
2013
Rp. 175.000.000.000
Rp. 170.000.000.000
Tabel 1. Target Penerimaan PBB P2 Kota Semarang Sebelum dan Setelah Perubahan APBD





Sumber: APBD Sebelum dan Setelah Perubahan Kota Semarang Tahun 2012-2013
Adanya kekurangsiapan Pemerintah Kota Semarang dalam melaksanakan pengalihan PBB Perkotaan menyebabkan kurang maksimalnya realisasi penerimaan yang tidak bisa mencapai target yang telah ditentukan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan target berupa penurunan ketetapan target dalam pengelolaan PBB Perkotaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang pada tahun 2012-2013. Realisasi penerimaan pajak terkadang tidak sesuai dengan  target yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah sehingga diperlukan adanya penilaian efektivitas untuk melihat keberhasilan pemungutan PBB P2 sebagai pajak daerah sehingga diharapkan  mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap PAD.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis mengangkat judul “Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB P2) Sebagai Pajak Daerah serta Kontribusinya Terhadap  Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan pengalihan PBB P2 sekaligus membahas efektivitas serta kontribusinya bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan yaitu
1.      Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah di Kota Semarang?
2.      Bagaimana efektivitas pemungutan PBB P2 sebagai pajak daerah di Kota Semarang?
3.      Bagaimana kontribusi PBB P2 terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Semarang tahun 2012 dan 2013 ?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan pengalihan pajak bumi bangunan perdesaan perkotaan sebagai pajak daerah di Kota Semarang
2.      Untuk mengetahui kontribusi pengalihan PBB P2 pada Penerimaan Asli Daerah kota Semarang tahun 2012 dan 2013.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah
1.      Bagi mahasiswa untuk menambah khasanah bacaan sekaligus sebagai bahan kajian selanjutnya.
2.      Bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pengalaman analisis kebijakan, karya ilmiah dan mengaplikasikan teori-teori yang sudah di dapat di bangku perkuliahan.
3.      Bagi Pemerintah sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pemerintah untuk penetapan kebijakan yang akan datang yang akan berkaitan dengan perpajakan.












BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1  Desentralisasi fiskal
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan Negara. Untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan. Besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom akan menciptakan iklim pemerintahan daerah yang merata di masyarakat (Farida, 2011:348-349).

2.2  Pajak
Menurut Guritno, pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogative pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukan penggunaannya.
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi (Mardiasmo 2011 : 1), yaitu :
1.       Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2.      Fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.




2.3  Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Menurut undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah
a.         jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan.
b.        jalan tol
c.         kolam renang
d.        pagar mewah;
e.          tempat olahraga;
f.          galangan kapal, dermaga;
g.         taman mewah;
h.        tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas,
i.          pipa minyak; dan
j.           menara.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).

2.4         Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim (2004:94) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri dari:
a.       Hasil pajak Daerah.
b.      Hasil retribusi Daerah.
c.       Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan.
d.      lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerahnya sendiri. Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengoptimalkan penerimaan pendapatan daerahnya. Hal tersebut sebagai upaya untuk menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda (otonomi daerah) sebagai perwujudan asas desentralisasi.
2.5         Efektifitas Pemungutan PBB P2
Mardiasmo (2009:132) menjelaskan efektivitas merupakan kontribusi output terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan spending wisely (sasaran akhir kebijakan). Mardiasmo (2009:132) menjelaskan indikator efektivitas menggambarkan jangkauan akibat dan dampak (outcome) dari keluaran (output) program dalam mencapai tujuan program. Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan, maka semakin efektif proses kerja yang dilakukan suatu unit organisasi. Selanjutnya, Halim (2004:164) mengemukakan tingkat efektivitas dapat diketahui dari hasil hitung formula efektivitas. Formula untuk mengukur efektivitas terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara realisasi pajak dengan target pajak:
Tabel 2. Kriteria Penilaian Efektivitas
Prosentase
Kriteria
Di atas 100%
Sangat efektif
90-100%
Efektif
80-90%
Cukup efektif
60-80%
Kurang efektif
Kurang dari 60%
Tidak efektif
Sumber: Munir, (2004:49).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kontribusi yang dihasilkan oleh output (keluaran) terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya, dengan mengetahui efektivitas intensifikasi pemungutan PBB-P2, organisasi diharapkan mampu untuk menilai tingkat keberhasilannya dalam mencapai tujuan yang telah ditargetkan sebelumnya.
2.6         Kontribusi PBB P2 terhadap PAD
Menurut Guritno (1992:76) kontribusi adalah sesuatu yang diberikan secara bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sedangkan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia kontribusi adalah sumbangan. Sehingga kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaaan (PBB-P2) terhadap besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Halim (2004:163) merumuskan formula untuk menghitung tingkat kontribusi PBB-P2 terhadap PAD adalah:

Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan realisasi PBB-P2 terhadap PAD, dapat diketahui besarnya kontribusi PBB-P2 terhadap PAD. Semakin tinggi kontribusi PBB-P2 terhadap PAD, maka akan mendorong meningkatnya PAD. Berikut ini penilaian kriteria kontribusi PBB-P2 terhadap PAD:
Tabel 3. Interpretasi Nilai Kontribusi PBB-P2 Terhadap PAD
Prosentase
Kriteria
Rasio 0,00 – 10,00%
Sangat Kurang
Rasio 10,10 – 20,00%
Kurang
Rasio 20,10 – 30,00%
Sedang
Rasio 30,10 – 40,00%
Cukup
Rasio 40,10 – 50,00%
Baik
Rasio di atas 50,00%
Sangat Baik
Sumber: Tim Litbang Pemdagri Fisipol UGM, 1991 (Mariana, 2005).

2.7         Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan terhadap makalah ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ferian Dana Pradita dkk, yang berjudul “Efektivitas Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya”. Hasil penelitian tersebut adalah efektifitas intensifikasi dari PBB P2 di Kota Surabaya termasuk dalam criteria cukup efektif. Realisasi penerimaan PBB Perkotaan dari tahun 2011-2013 menunjukan peningkatan setiap tahunnya, namun peningkatan tersebut juga diiringi oleh peningkatan penerimaan PAD Kota Surabaya, sehingga jika dilihat dari besarnya prosentase kontribusi PBB Perkotaan terhadap PAD Kota Surabaya menunjukan penurunan dari tahun 2011-2013.
Penelitian kedua dilakukan oleh Voni Lestari dengan judul  “Analisis Pengaruh Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (PBB P2) terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Kota Kediri Tahun 2012 Dan 2013”. Hasil dari penelitian tersebut pengalihan PBB P2 menaikkan pendapatan asli kota Kediri.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Ida Ayu Metha Apsari Prathiwi, Nyoman Trisna Herawati,  Ni Luh Gede Erni Sulindawati dalam jurnal yang berjudul “Analisis Strategi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (Pbb P2) Serta Efektivitas Penerimaannya Di Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2013-2014”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kendala yang dialami oleh pemerintah kota Denpasar adalah karena PBB P2 merupakan pajak baru sehingga pemda mengalami kesulitan dalam pengelolaannya, aplikasi SISMIOP yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak berjalan dengan baik, sarana dan prasarana yang kurang memadai serta membutuhkan biaya yang besar, serta sumber daya manusia yang tidak optimal dalam memberikan pelayanan. Pemerintah kota Denpasar melakukan tiga tahapan strategi yaitu tahap perencanaan strategi, pelaksanaan strategi, dan evaluasi strategi. Penerimaan PBB P2 kota Denpasar tergolong sangat efektif dengan presentase di atas seratus persen.






BAB III
PEMBAHASAN
3.1         Pelaksanaan Kebijakan Peralihan PBB P2 sebagai Pajak Daerah di Kota Semarang
Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah di bentuk dalam rangka meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Daerah telah diberikan kewenangan untuk memungut pajak (taxing power). Ada empat perubahan fundamental yang diatur dalam undang-undang tersebut. Salah satu diantara perubahan tersebut adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah, penambahan jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah dan pemberian diskresi kepada daerah untuk menetapkan tarif sesuai dengan batas tarif maksimum dan minimum yang telah ditentukan.
Diterbitkannya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009, pemerintah daerah mempunyai tambahan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru, sehingga jenis pajak kabupaten atau kota bertambah dari tujuh menjadi sebelas jenis pajak. Penambahan pos pajak dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota pada UU No.34/2000 dengan UU No. 28/2009
UU No.34 tahun 2000
UU No.28 Tahun 2009
1.      Pajak Hotel
2.      Pajak restoran
3.      Pajak hiburan
4.      Pajak reklame
5.      Pajak penerangan jalan
6.      Pajak parkir
7.      Pajak pengambilan bahan galian Gol.C
1.      Pajak Hotel
2.      Pajak restoran
3.      Pajak hiburan
4.      Pajak reklame
5.      Pajak penerangan jalan
6.      Pajak parkir
7.      Pajak material bukan logam dan batuan
8.      Pajak air tanah
9.      Pajak sarang burung wallet.

Salah satu jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah adalah Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pada awalnya PBB P2 merupakan pajak pusat yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Namun  untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khususnya dari penerimaan PBB, maka paling lambat pada tanggal 1 Januari 2014 seluruh proses pengelolaan PBB-P2 akan dilakukan oleh pemda. Sedangkan, PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih tetap menjadi pajak pusat.
Adapun alasan pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara lain:
a.       PBB-P2 dapat dipungut oleh daerah karena lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile),dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut.
b.      Pengalihan PBB-P2 kepada daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD dan memperbaiki struktur APBD.
c.        Pengalihan PBB-P2 kepada daerah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.
d.      Berdasarkan praktek di banyak negara, PBB-P2 termasuk dalam jenis local tax.
Tujuan dari dialihkannya PBB P2 dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah menambah jenis pajak di daerah. Dengan bertambahnya jenis pajak di daerah diharapkan Pemerintah Daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Pemerintah Daerah juga memiliki kewenangan dalam penetapan tarif PBB P2 yang dituangkan dalam Perda di daerah masing-masing. Serta menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah yang merupakan cerminan dari desentralisasi fiskal. Dengan pengelolaan PBB P2 sebagai pajak daerah diharapkan pengelolaan dapat dilaksanakan dengan optimal karena Pemerintah Daerah lebih dekat pada masyarakatnya sehingga lebih memahami karakteristik serta keadaan di wilayahnya bila dibandingkan dengan Pemerintah Pusat, serta dapat meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pengalihan PBB P2 dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah memberikan banyak keuntungan bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola daerahnya secara otonom.
Penerimaan PBB-P2 setelah adanya pengalihan ke pemda akan sepenuhnya masuk ke pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 %. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah (www.pajak.go.id).
Dikota Semarang pemungutan PBB P2 dilaksanakan oleh Pemerintah Kota mulai Tahun 2012 atas dasar Perda Nomor 13 Tahun 2011 Sebagai Turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Definisi PBB Perkotaan menurut Perda tersebut adalah “pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan”. Peraturan Daerah tentang PBB Perkotaan tersebut dibentuk sebagai operasionalisasi serta sebagai syarat yang harus disiapkan apabila melakukan pemungutan PBB P2 secara mandiri oleh Pemerintah Kota Semarang. Dengan adanya Peraturan Daerah tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pelayanan umum. Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang sebagai dinas daerah yang diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola penerimaan daerah yang berasal dari pos penerimaan daerah. Pemda memiliki kewenangan dalam kegiatan yang terkait dengan PBB-P2 menjadi milik Pemerintah Daerah, hal itu meliputi proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan terkait PBB P2.
Pada pelaksanaanya masih terdapat kendala dalam pemungutan PBB P2 di kota Semarang. Kurangnya kesiapan daerah dalam transisi perpindahan pajak pusat menjadi pajak daerah sehingga menjadikan kurang maksimalnya penerimaan pajak didaerah. Pemerintah Kota Semarang belum memiliki sarana dan prasarana yang sesuai untuk menunjang perolehan penerimaan PBB P2 seperti sistem database Wajib Pajak, gedung pelayanan PBB, pengorganisasian petugas untuk menangani pelayanan PBB, serta hal-hal yang bersifat teknis yang penting dalam penyelenggaraan pemungutan PBB Perkotaan. Selain sarana dan prasarana, kesiapan sumberdaya manusia dalam hal pengelolaan PBB didaerah juga masih kurang. Petugas penarik pajak tersebut memerlukan pendidikan  dan pengelolaan PBB P2  yang tergolong masih baru di daerah.(Aji 2014:3)
Dalam menjalankan kewenangannya, pemeritah kota Semarang memiliki target pencapaian penerimaan PBB P2. Akan tetapi target tersebut mengalami perubahan pasca di berlakukannya Undang-Undang PDRD dan Perda Kota Semarang Nomor 13 Tahun 2011.
Tahun
Target Sebelum Perubahan APBD
Target Setelah Perubahan APBD
2012
Rp. 175.000.000.000
Rp. 159.000.000.000
2013
Rp. 175.000.000.000
Rp. 170.000.000.000
Tabel 5. Target  PBB Perkotaan Kota Semarang Sebelum dan Setelah Perubahan APBD Tahun 2012 dan 2013
Sumber:  Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang Tahun 2013

Target penerimaan sebelum adanya perubahan APBD Pada tahun 2012 dan 2013 adalah 175 milyar rupiah, akan tetapi setelah perubahan APBD kota Semarang  target penerimaan PBB perkotaan diturunkan menjadi 159 milyar rupiah pada tahun 2012 dan 170 milyar rupiah pada tahun 2013. Penyebab penurunan target penerimaan PBB perkotaan tersebut adalah kurang siapnya pemerintah Kota Semarang dalam melaksanakan pengalihan PBB P2 sehingga realisasi target tidak bisa mencapai target yang telah di tentukan. Penurunan target penerimaan tersebut sebenarnya tidak seharusnya dilakukan. Diberlakukannya undang-undang dan perda tersebut pemda memiliki kewenangan penuh untuk mengoptimalkan pemungutan PBB P2 sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih terhadap PAD Kota Semarang karena pemerintah kota dapat mengelola secara mandiri PBB Perkotaan.
3.2         Efektivitas Pemungutan PBB P2 di Kota Semarang
Salah satu indikator keberhasilan dalam melaksanakan pemungutan pajak adalah tercapainya rencana target penerimaan yang telah ditetapkan. Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pemungutan pajak maka dilakukan penilaian efektivitas terhadap pemungutan PBB P2. Efektivitas merupakan suatu penilaian terhadap proses untuk mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat efektivitas penerimaan PBB P2 Kota Semarang dapat dilakukan dengan membandingkan antara target yang telah ditentukan dengan realisasi penerimaan PBB P2 pada tahun yang sama.
Tabel 6. Target, Realisasi dan Efektivitas Penerimaan PBB Perkotaan Kota Semarang Tahun 2012 dan 2013

Tahun
Target
Realisasi
Efektivitas
2012
Rp. 159.000.000.000
Rp 161.334.468.066
101.46 %
2013
Rp. 170.000.000.000
Rp 185.173.747.490
108.95%
Sumber:  Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang Tahun 2013

Kota Semarang pada tahun pertamanya melaksanakan pemungutan PBB Perkotaan menetapkan target penerimaan sebesar 175 Miliar, akan tetapi ketetapan target tersebut dilakukan perubahan diturunkan sebesar 16 Miliar menjadi sebesar 159 Miliar. Dengan ketetapan target yang lebih rendah dari ketetapan target awal Pemerintah Kota Semarang berhasil melampaui target yang ditetapkan dengan presentase 101,46% atau sebesar Rp 161.334.468.066 dari target 159 Miliar.
Pada tahun 2013 realisasi penerimaan pajak PBB perkotaan kota Semarang adalah sebesar Rp 185.173.747.490. Realisasi penerimaan pajak tersebut telah melampaui target yang telah di tetapkan baik target awal yaitu 175 milyar maupun target perubahan sebesar 170 milyar dengan presentase efektivitas sebesar 108.95% dari target perubahan.
 Besarnya realisasi penerimaan PBB P2 Kota Semarang pada tahun 2013 juga disebabkan karena adanya upaya-upaya yang dilaksanakan pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan realisasi penerimaan PBB Perkotaan. Kota Semarang lebih cenderung mengunakan upaya-upaya preventif dalam pelaksanaan pemungutannya. Upaya preventif merupakan tindakan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi atau mencegah sebelum terjadi. Dalam hal ini upaya preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya tunggakan pembayaran PBB Perkotaan agar pembayaran dilaksanakan sebelum masa jatuh tempo pembayaran. Sehingga wajib pajak tidak mendapatkan sanksi, baik sanksi yang ringan yakni sanksi administratif sampai dengan sanksi yang paling berat yakni dilakukan penyitaan. Upaya tersebut berupa program atau kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan realisasi penerimaan antara lain pekan panutan, operasi bhakti, operasi sisir, program undian berhadiah untuk wajib pajak PBB Perkotaan, serta kegiatan lainnya.(Aji 2013:11)
Pekan Panutan merupakan salah satu bentuk kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan di Kota Semarang. Kegiatan ini diikuti oleh para wajib pajak baik dari jajaran Pemerintah Kota Semarang, pengusaha maupun warga masyarakat. Kegiatan Pekan Panutan dilaksanakan lebih awal sebelum jatuh tempo pembayaran dengan sasaran memberikan keteladanan atau panutan kepada wajib pajak PBB Perkotaan untuk melakukan pembayaran PBB tepat pada waktunya. Para pejabat publik yang diharapkan dapat menjadi panutan serta tauladan dalam melaksanakan pembayaran PBB sebelum jatuh tempo dimulai dari lurah, camat, serta jajaran pejabat Pemerintah Kota Semarang.
Upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan yang dilaksanakan DPKAD adalah dengan melaksanakan kegiatan operasi bhakti yang bertujuan untuk mempermudah wajib pajak dalam melakukan pembayaran pajak terutangnya sebelum masa jatuh tempo, hal ini dilakukan dengan cara mendekatkan tempat pembayaran kepada wajib pajak. Petugas dari DPKAD lebih cenderung bersifat aktif dalam melaksanakan pemungutan dengan berkeliling ditempat-tempat yang telah ditentukan sebelumnya.
Kegiatan lain yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengoptimalkan penerimaan PBB Perkotaan di Kota Semarang adalah operasi sisir. Sistem kerja dari operasi sisir diadopsi dari sistem operasi bhakti, namun operasi sisir dilaksanakan setelah jatuh tempo pembayaran atau 6 bulan setelah diterimanya SPPT PBB Perkotaan. Wajib pajak diberikan kemudahan dalam melaksanakan pembayaran PBB dengan mendekatkan tempat pembayaran sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Perbedaan lain dari operasi sisir ini adalah masyarakat yang melaksanakan pembayaran PBB dikenakan sanksi 2% perbulan selama maksimal 24 bulan. Hal ini dikarenakan atas dasar aturan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang yang mengatur sanksi bagi wajib pajak yang terlambat melaksanakan pembayaran pajak terutangnya.
Program undian berhadiah untuk wajib pajak PBB Perkotaan memang menjadi salah satu kegiatan baru dari Pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan. Kegiatan ini dimulai pada tahun 2012 yang sifatnya mengajak para wajib pajak PBB Perkotaan untuk melaksanakan pembayaran sebelum masa jatuh tempo. Sebagai salah satu bentuk penghargaan bagi wajib pajak yang telah melaksanakan pembayaran sebelum jatuh tempo, Pemerintah Kota Semarang memberikan reward atau hadiah berupa kesempatan mengikuti undian berhadiah yang dilaksanakan Pemerintah Kota Semarang.
Selain upaya-upaya yang bersifat internal yang dilaksanakan pada jajaran Pemerintah Kota Semarang. Juga dilaksanakan upaya lain yang melibatkan masyarakat. Salah satunya adalah dengan melakukan koordinasi ditingkat kelurahan dan kecamatan agar menjadikan bukti setoran pembayaran pajak bumi dan bangunan perkotaan sebagai salah satu syarat dapat dilaksanakannya pelayanan-pelayanan administratif di tingkat kelurahan dan kecamatan, dengan demikian bagi setiap warga masyarakat yang menginginkan pelayanan administratif dari instansi tersebut wajib melampirkan bukti setoran pembayaran PBB sebagai syaratnya.
 Pencapaian target yang selalu melebihi 100% ini menunjukan bahwa pemerintah kota semarang sudah sangat efektif dalam pemungutan PBB P2.  Akan tetapi adanya penurunan target dari target awal menjadikan pemda kurang bisa mengoptimalkan penerimaan PBB P2 sebagai Pajak daerah.

3.3         Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang
Adanya pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah ini salah satunya bertujuan untuk memperluas objek pajak daerah sehingga diharapkan akan menambah pendapatan asli daerah karena 100% hasil pendapatan dari PBB P2 tersebut akan masuk ke daerah. Dengan adanya kenaikan pada PAD diharapkan daerah lebih mandiri dan mampu dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Dibawah ini adalah tabel kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang.
Tabel 7. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang
Tahun
Realisasi PBB Perkotaan
Realisasi PAD
Kontribusi PBB P2 terhadap PAD
2012
Rp 161.334.468.066
Rp 786.563.411.659
20.51 %
2013
Rp 185.173.747.490
Rp 930.577.133.513
19.89 %
Sumber: Data diolah, 2013.
Adanya pengalihan PBB P2 sebagai pajak daerah menjadikan penerimaan asli daerah dari sektor pajak menjadi bertambah. Pada tahun 2012 realisasi PBB P2 adalah Rp 161.334.468.066 sedangkan realisasi PAD nya adalah Rp 786.563.411.659. pada tahun 2013 realisasi PBB P2 adalah Rp 185. 173.747.490 sedangkan PADnya Rp 930.577.133.513. Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan realisasi PBB-P2 terhadap PAD Kota Semarang, dapat diketahui besarnya kontribusi PBB-P2 terhadap PAD Kota Semarang. Semakin tinggi kontribusi PBB-P2 terhadap PAD, maka akan mendorong meningkatnya PAD Kota Semarang. Pada tahun 2012 kontribusi PBB P2 terhadap PAD adalah 20.51% sedangkan pada tahun 2013 kontribusinya adalah 19.89%. Pada tahun 2013 terjadi penurunan kontribusi PBB terhadap PAD. Penurunan kontribusi ini bukan berasal dari realisasi penerimaan PBB sektor perkotaan yang mengalami penurunan, akan tetapi kenaikan realisasi penerimaan PBB P2 juga diikuti oleh kenaikan PAD. Kenaikan PAD tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan yang cukup tinggi dari penerimaan retribusi daerah dan lain-lain PAD yang Sah. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD kota Semarang sebesar 20,21 % dan 18,28% ini berarti bahwa kontribusi PBB P2 terhadap pembentukan PAD kota Semarang berada pada kriteria kurang dan sedang. Hal ini menujukan bahwa, pendapatan dari pos-pos pendapatan lain seperti retribusi daerah, pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah lebih berkontribusi terhadap pembentukan PAD kota Semarang.
Pada bulan Februari 2015, muncul wacana bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan memberlakukan bebas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah huni, tempat ibadah, dan bangunan sosial mulai tahun 2016. Rencana pembayaran PBB setiap tahun hanya akan dikenakan terhadap bangunan komersil seperti rumah toko, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan restoran. Hal ini disebabkan karena hunian setiap tahun membebani masyarakat penghuni nonkomersil. Pemerintah hanya akan memungut biaya terhadap masyarakat saat awal pembelian lahan tanah atau sewa huni. Jika hal tersebut benar terjadi, maka dapat dipastikan penerimaan PBB akan berkurang. Hal ini tentunya akan mengurangi pendapatan asli daerah dan juga kontribusi PBB terhadap PAD akan semakin kecil sehingga akan mengurangi kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Disisi lain pengahapusan PBB untuk hunian non komersil tersebut akan menguntungkan masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu karena mereka tidak harus membayar pajak. Untuk itu pemerintah diharapkan mengkaji lebih lanjut perihal rencana penghapusan PBB untuk hunian non komersil. Pemerintah diharapkan tidak gegabah dalam mengambil kebijakan mengingat substansi pemungutan pajak adalah untuk dikembalikan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. 











BAB IV
PENUTUP
4.1  Simpulan
1.      Kebijakan peralihan PBB P2 menjadi pajak daerha merupakan  kebijakan yang didasarkan pad undang-undang No 28 tahun 2009 yang bertujuan memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah, menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah), memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah, dan menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.
2.      Kota semarang mulai melakukan peralihan PBB P2 sebagai pajak daerah mulai tahun 2012, akan tetapi pada pelaksanaanya masih terdapat kendala yaitu belum siapnya pemda dalam melakukan pemungutan PBB P2. Hal tersebut menjadikan realisasi target sulit dicapai sehingga pemda melakukan perubahan target pencapaian dalam APBD nya.
3.      Realisasi penerimaan PBB P2 kota Semarang sudah termasuk dalam criteria yang efektif karena realisasinya telah melebihi target perubahan yang telah ditetapkan yaitu sebesar 101,46% pada tahun 2012 dan 108.95% pada tahun 2013.
4.      Kontribusi PBB P2 terhadap PAD Kota Semarang dari tahun 2012-2013 persentasenya menunjukan penurunan. Penurunan tersebut terjadi bukan karena realisasi penerimaan PBB P2 yang menurun. Namun peningkatan realisasi PBB P2 juga diiringi oleh peningkatan PAD. Kontribusi PBB P2 terhadap PAD kota Semarang sebesar 20,21 % dan 18,28% ini menunjukan bahwa kontribusi PBB P2 terhadap pembentukan PAD kota Semarang berada pada kriteria kurang dan sedang.

4.2  Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka diperlukan saran dan rekomendasi untuk meningkatkan kualitas pemungutan PBB Perkotaan di Kota Semarang, dan rekomendasi tersebut berupa:
1.      Dalam pelaksanaan pemungutan PBB Perkotaan memerlukan sarana dan prasarana yang menunjang keberhasilannya dengan tujuan dapat tercapainya target penerimaan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu Pemerintah Kota Semarang harus menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dalam proses pengalihan PBB Perkotaan yang tidak dipersiapkan dengan baik seperti software aplikasi PBB, ruang arsip, dan gedung untuk pelayanan PBB.
2.      Perlu ditingkatkannya aturan legalitas pemungutan PBB Perkotaan ditingkat kelurahan dan kecamatan untuk mendukung upaya Pemerintah Kota Semarang dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB Perkotaan.
3.      Pemerintah harus lebih kreatif lagi dalam menarik perhatian wajip pajak untuk membayarkan pajak agar penerimaan pajaknya dapat lebih optimal lagi.



















DAFTAR PUSTAKA
Aji, Mohamad Nur I. 2014. “Analisis Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Semarang Tahun 2012-2013”. Jurnal Ilmu Pemerintahan: Universitas Diponogoro yang di unduh melalui http://download.portalgaruda.org/article.php?article=150682&val=4924&title=Analisis%20Pemungutan%20Pajak%20Bumi%20dan%20Bangunan%20Perkotaan%20di%20Kota%20Semarang%20Tahun%202012-2013 pada 9 maret 2015 pukul 04.00 WIB
Anonim.2013. LKPJ Walikota Semarang Tahun 2013.diunduh melalui http://beta.semarangkota.go.id/content/image/files/3.%20BAB%203%20Keuangan%20Draft%20LKPJ%202013.pdf pada 10 Maret Pukul 04.43 WIB.
Badan Pusat Statistik.2013.Kota Semarang Dalam Angka 2012. Semarang:  BPS Kota Semarang
Badan Pusat Statistik.2014.Kota Semarang Dalam Angka 2013. Semarang:  BPS Kota Semarang
Direktorat Jenderal Pajak.2012. “Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Pbb-P2) Sebagai Pajak Daerah”. Diakses melalui :http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan
Farida, Ai Siti. 2011. Sistem Ekonomi Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
Guritno. 1992. Kamus Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah :Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta, Erlangga.
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta:ANDI.
------------. 2011. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: ANDI.
Pradita,dkk. 2014. Efektivitas Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta KontribusinyaTerhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya. Jurnal  Fakultas Ilmu Administrasi: Universitas Brawijaya
Prathiwi,dkk. 2015.Analisis Strategi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Dan Perkotaan (Pbb P2) Serta Efektivitas Penerimaannya Di Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2013-2014. Dalam e-Journal S1 Akuntansi Volume 3, No.1 Tahun 2015: Universitas Pendidikan Ganesha.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal internasional

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL : CORRUPTION
a. Identitas Jurnal :
Judul : Endogenous corruption in economic development Penulis : Keith Blackburn Niloy Bose M. Emranul Haque Penerbit : Emerald Jurnal : Journal of Economic Studies, Vol. 37 Iss 1 pp. 4 - 25 Tujuan : Menganalisis secara bersama-sama antara korupsi birokrasi dan pembangunan ekonomi. Motode : menggunakan model pertumbuhan yang sederhana dimana birokrasi merupakan karyawan dari pemerintah yang menarik pajak dari rumah tangga.
b. Ringkasan Jurnal :
Endogenous corruption in economic development
(Korupsi endogen dalam pembangunan ekonomi)
1. Pendahuluan
Korupsi sektor public merupakan tindakan ilegal atau tidak sah, hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan posisinya dikantor public untuk mencari keuntungan pribadi. Prilaku tersebut merupakan aspek yang tak terelakan dari intervensi Negara. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya berfokus pada aspek ekonomi mikro dari insentif, informasi, dan penegakan hukum yang mempengaruhi efisiensi dan kesejahteraan. Korelasi korupsi dan pertumbuhan ekonomi secara konsisten negative dan signifikan (Mauro: 1995).Hubungan antara korupsi dan pertumbuhan adalah dua arah kausal, birokrasi rente tidak hanya berpengaruh tetapi juga dipengaruhi oleh tingkat pengembangan. Tingkat korupsi umumnya lebih tinggi dinegara miskin dari pada Negara kaya (Treisman:2000). Tantangan penelitian teoritis yang pertama adalah mengapa korupsi dapat merusak pembangunan ekonomi. Kedua untuk menjelaskan secara bersamaan mengapa korupsi mungkin akan terpengaruh oleh pembangunan. Yang ketiga adalah menjelaskan mengapa kurupsi berbeda-beda antar Negara pada tingkat pembangunan yang sama.
Penelitian ini dilakukan dengan mengembangkan model sederhana dari pertumbuhan ekonomi dimana birokrat diperintahkan untuk bertanggung jawab mengumpulkan pajak dari perorangan (rumah tangga). Birokrat memiliki kesempatan untuk terlibat dalam praktek korupsi. Birokrat dapat memanfaatkan kekuatan dari jabatan mereka untuk berkolusi dengan rumah tangga untuk penghindaran pajak. Suap bagi birokrat yang berjanji bahwa pendapatan rumah tangga akan dilaporkan palsu dan dibebaskan dari pajak. Prilaku tersebut berdampak pada tabungan agregat dan akumulasi modal. Implikasi utama penelitian ini adalah insentif bagi birokrat yang terlibat dalam korupsi tergantung pada hasil ekonomi luas yang tergantung pula pada prilaku semua birokrat. Efek yang tepat dari model korupsi dari penelitian ini adalah mengurangi jumlah sumber daya yang tersedia untuk investasi produktif birokrat dengan cara menghilangkan pendapatan illegal mereka. Dengan cara ini memungkinkan adanya interaksi endogen antara korupsi dan pengembangan: keseimbangan kejadian korupsi dengan kegiatan korupsi dan pertumbuhan ekonomi melalui akumulasi modal yang ditentukan oleh keseimbnagan tingkat korupsi.
2. Lingkungan
Lingkungan yang dimaksud disini adalah masyarakat, terdapat dua kelompok warga yaitu pribadi atau rumah tangga dan birokrat. Rumah tangga dibedakan berdasarkan sumbangan tenaga kerja meraka yang menentukan pendapatan relative dan besarnya pengenaan pajak. Pajak dikumpulkan oleh birokrat untuk untuk mendanai belanja public. Birokrat memiliki satu unit endowment tenaga kerja (yang membebaskan dirinya dari pajak) dan bahwa setiap birokrat memiliki yurisdiksi atas jumlah yang sama rumah tangga kena pajak.Dalam melakukan korupsi, birokrat mengharapkan mendapatkan suap dari rumah tangga dan mengharapkan keuntungan dari penggelapan pajak.
2.1 Pemerintah
Pemerintah menyediakan pelayanan public yang berkontribusi pada efisiensi keluaran produksi. Birokrat yang menerima gaji kurang dari upah mengharapkan menerima gaji dari suap dan diidentifikasi sebagai koruptor. Pemerintah membiayai pengeluarannya dengan sistem anggran berimbang. Pemerintah perlu menyelidiki prilaku birokrat dengan menggunakan teknologi yang tepat.
2.2 Rumah tangga
Rumah tangga berpenghasilan rendah dibebaskan dari pajak dan rumah tangga berpenghasilan tinggi wajib membayar pajak. Rumah tangga mendapatkan penghasilan dari sewa modal kepada perusahaan pada tingkat bunga pasar. Rumah tangga dengan satu unit endowment tenaga kerja berpenghasilan rendah tidak dikenakan pajak sehingga tidak memiliki insentif untuk terlibat dalam penggelapan pajak. Namun untuk rumah tangga yang memiliki aw tenaga kerja endowmen dimana penghasilannya aw (tinggi) sehingga pemerintah menarik pajak lump sum. Tipe rumah tangga ini yang dapat bersekongkol dengan birokrat untuk korupsi dalam penyuapan dan penggelapan pajak.
2.3 Birokrat.
Setiap birokrat di bayar dengan gaji untuk penyediaan inelastic kerja kepada pemerintah. Setiap birokrat bertanggung jawab untuk mengumpulkan pajak dari rumah tangga yang mengungkap dirinya dapat disuap atau tidak dapat disuap. Seperti rumah tangga, birokrat juga menyimpan pendapatan mereka untuk hari tuanya. Seorang birokrat yang tidak dapat disuap tidak pernah korupsi. Pendapatanya selalu wt yang menyiratkan utilitas selama hidup rt+wt. sebaliknya seorang birokrat yang korupsi mungkin atau tidak mungkin korupsi. Jika pendapatan terakhirnya wt atau dibawahnya. Perkiraan pendapatan yang akan dia terima tergantung dari suap yang ia terima, kemunginan tertangkap, sumberdaya yang digunakan untuk menghindari deteksi dan hukuman jika ia ketahuan. Secara khusus terdapat tindakan pencucian uang dari pendapatan illegal. Orang-orang tersebut dapat menyalurkan pendapatnya kedaerah yang sulit dilacak oleh pemerintah seperti sektor informal dan rekening bank luar negeri. Namun birokrat juga harus membayar imbalan untuk layanan pencucian uang ini.
2.4 Perusahaan
Perusahaan merupakan perusahaan yang memproduksi output sesuai dengan teknologi yang digunakannya.
3. Dari Pembangunan untuk Korupsi
Korupsi terjadi jika rumah tangga berpenghasilan tinggi dan birokrat yang mau disuap merasa saling mengguntungkan dan bersekongkol dalam
menyembunyikan informasi dari pemerintah. Rumah tangga berpenghasilan tinggi bersedia membayar suap akan tetapi suap yang dibayarkan tidak lebih dari penghematan pajak yang dia harapkan. Seorang birokrat yang korup lebih cenderung korup saat semakin tinggi pajak, semakin tinggi tingkat bunga dan semakin rendah tingkat upah yang ia terima. Masing-masing variable dinyatakan sebagai fungsi dari persediaaan modal yang ada. Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam menentukan kejadian korupsi.
4. Dari Korupsi untuk Pembangunan.
Ada dua sekenario dalam eonkomi yaitu salah satu dari birokrat yang tidak korupsi adalah korupsi dan semua birokrat yang korup adalah korupsi. Tujuannya adalah menyimpulkan jalan akumulasi modal dan pekembangan ekonomi dari waktu kewaktu sehingga diperoleh kondisi keseimbangan dimana total permintaan untuk modal sama dengan total pasokan untuk tabungan. Dalam kasus tidak ada birokrat yang korupsi maka pemerintah memperoleh penerimaan pajak maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran layanan public. Jika sebuah rumah tangga ingin menghindari pajak ia akan bersedia membayar suap hingga maksimum. Jumlah tabungan terdiri dari semua tabungan masyarakat berpendapatan rendah, tinggi dan semua birokrat sehingga dapat dimanfaatkan untuk akumulasi modal. Jika semua birokrat korupsi. Dengan demikian pajak yang lebih rendah akumulasi modal yang lebih tinggi dan tingkat suku bunga yang lebih rendah akan menjadikan tingkat korupsi rendah. Secara intuitif prospek pendapatan pajak hilang karena korupsi sehingga pemerintah harus menaikkan pajak penghasilan rumah tangga yang tinggi untuk memenuhi kendala anggaran. Hal tersebut menjadikan rumah tangga tersebut bersedia membayar suap untuk menghindari kewajiban pajak yang tinggi. Pengalihan suap secara sembunyi tersebut mengurangi tabungan agregatdan akumulasi modal sehingga menjadikan suku bunga menjadi lebih tinggi yang berdampak pada penurunan modal dalam produksi output.
5. Korupsi dan Pembangunan di keseimbangan umum.
Analisis ini mengungkap bagaimana pemburu rente oleh pejabat public berpengaruh. Keseimbangan pajak dan suku bunga berada antar lingkungan korup dan non korup. Tidak ada birokrat yang memiliki insentif untuk menyimpang dari perilaku korup, sementara itu setiap birokrat memiliki insentif untuk menyimpang dari prilaku non korup. Satu satunya keseimbangan adalah salah satu dimana
semua birokrat yang korup. Hasil ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pembangunan terkait dengan tingginya tingkat korupsi. Tingginya tingkat pembangunan terkait dengan rendahnya (nol) tingkat korupsi. Tingkat menengah pembangunan dapat berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat korupsi. Ada tida jenis rezim dalam pembangunan yang pertama rezim pembangunan rendah dimana kejadian korupsi berada pada level yang maksimum untuk seluruh level modal dibawah level ambang batas. Yang kedua yaitu rezim pembangunan tinggi dimana kejadian korupsi berada pada level yang rendah, level modal berada diatas level ambang batas. Yang ketiga adalah rezim pembangunan menengah dimana kejadian korupsi maksimal atau minimal utuk setiap level modal berada diantara dua ambang batas.
Gambar keseimbangan korupsi Setiap birokrat melakukan korupsi tergantung pada kondisi, kondisi dimana pajak, suku bunga dan upah yang semuanya tergantung pada stok agregat modal(mengukur tingkat perkembangan) dan tergantung pula pada kejadian agregat korupsi. Pada pembangunan yang cukup rendah atau cukup tinggi insentif seseorang birokrat untuk berprilaku dalam suatu cara atau yang lain tidak terpengaruh oleh prilaku birokrat lainnya. Insentif seorang birokrat untuk melanggar pada tahap pembangunan sangat bergantung pada eksploitasi orang lain.
Dalam kasus yang diteliti, surplus dari rumah tangga dan birokrat dari berkolusi lebih tinggi (lebih rendah) ketika korupsi secara total lebih tinggi (lebih rendah). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa setiap tingkat
modal, lebih tinggi (lebih rendah) kejadian korupsinya dikaitkan dengan tingkat pajak yang lebih tinggi (lebih rendah) karena pemerintah berusaha untuk mempertahankan keseimbangan anggaran. Pajak yang lebih tinggi (lebih rendah) berarti bahwa rumah tangga bersedia membayar suap yang lebih besar (Kecil), pada gilirannya setiap birokrat memiliki insentif yang kuat (lemah) untuk terlibat dalam rente. Ada pandangan bahwa pembangunan dapat mengurangi korupsi atau bahkan menumbuhkan korupsi sebagai proses modernisasi yang membawa insentif dan peluang baru bagi agen public untuk korupsi.
6. Kesimpulan
Korupsi di sektor public semakin meluas di seluruh dunua. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan salah satu hal yang perlu untuk dipertahankan dalam pembangunan ekonomi sedangkan korupsi merupakan hambatan utama pertumbuhan dan kemakmuran. Korupsi sektor public dilakukan oleh pejabat birokrasi dengan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk kepentingan mereka sendiri dengan terlibat dalam pemburuan rente. Pola dasar korupsi public adalah birokrasi disuap oleh individu swasta untuk bersekongkol menyembunyikan informasi dari pemerintah. Korupsi birokrasi tidak hanya berpengaruh tetapi juga dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi. Hal in tercermin dari efek threshold ( ambang batas) dan beberapa keseimbangan yang dapat menjelaskan mengapa korupsi dapat bervariasi diseluruh Negara. Perekonomian dapat berada pada 3 rezim pembangunan yaitu rezim pembangunan rendah, menengah dan tinggi. Variasi tingkat korupsi diberbagai Negara dapat terjadi dalam rezim ini. Hasil dari pengamatan empiris ini adalah bahwa kejadian korupsi sangat tinggi berada pada Negara yang berpenghasilan rendah, kejadian korupsi rendah berada pada Negara berpenghasilan tinggi dan beragamnya kejadian korupsi berada pada Negara-negara berpenghasilan menengah.
c. Advantage and Disadvantage
- Advantage
Jurnal ini dalam memecahkan masalah yang ada lebih banyak menggunakan model sederhana dan persamaan yang sangat rinci dan mendetail untuk menjelaskan suatu sebab akibat dari adanya korupsi oleh birokrat dan pengaruh
korupsi dalam pembangunan. Jurnal ini juga memaparkan secara mendetail perbedaan tingkat korupsi di Negara berkembang, maju dan Negara miskin dengan menggunakan model dan persamaan yang dibangun berdasarkan kondisi empiris yang terjadi. Dari analisis yang dilakukan juga didapatkan hasil 3 jenis rezim pembangunan.
- Disadvantage
Kelemahan dari jurnal ini adalah kurangnya support data untuk penelitian yang diadakan. Jadi jurnal ini lebih banyak mengunakan konsep-konsep dan perhitungan matematis.
2. Review Jurnal Internasional: DEMOCRACY
a. Identitas Jurnal
Judul Jurnal : Financial liberalization and economic growth: The (ir)relevance of the democracy context Penulis : Thiago Henrique Carneiro Rios Lopes Cleiton Silva de Jesus Penerbit : Emerlad Jurnal : Journal of Economic Studies, Vol. 42 Iss 2 pp. 207 - 223 Tujuan : memastikan apakah Negara-negara mendapatkan liberalisasi capital account yang lebih demokratis. Motode : menggunakan metode pooled OLS, data penel dengan efek tetap dan metode momen tetap.
b. Resume Jurnal
1. Pendahuluan
Financial liberalization and economic growth: The (ir)relevance of the democracy context Neraca modal merangsang pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Menurut model pertumbuhan neoklasik, di Negara-negara yang memilki modal berlimpah liberalisasi keuangan akan memungkinkan penghematan kelebihan yang akan ditransfer ke negara-negara yang langka modal, meningkatkan ekonomi miskin (Obstfeld, 1998; Gorinchas dan Jeanne, 2002). Konsekuensi penting dari model ini adalah bahwa semakin besar integrasi ekonomi antara negara, termasuk di bidang keuangan, semakin besar tingkat kesejahteraan sosial, sehingga perbedaan pendapatan antara negara-negara berkurang dari waktu ke waktu. Peningkatan keterbukaan neraca modal dapat mempengaruhi kinerja ekonomi melalui dua saluran yaitu tabungan eksternal & investasi agregat serta melalui pertumbuhan produktivitas. Alesina et al. (1993) menemukan bukti hubungan positif antara modal kecil akun liberalisasi dan pertumbuhan ekonomi untuk sampel dari 20 negara-negara berpenghasilan tinggi. Grilli dan Milesi-Ferrett (1995) melihat bahwa ada hubungan negatif antara liberalisasi dan pertumbuhan ketika negara-negara berkembang mendominasi sampel.
Salah satu fakta yang signifikan adalah pemahaman bagaimana demokrasi dan integrasi keuangan berhubungan satu sama lain. Karya ini
bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap literatur empiris yang mengakui peran konteks demokrasi dalam memahami hubungan kausal antara liberalisasi keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Masalah utamanya adalah untuk mengetahui apakah modal akun keterbukaan, bila dikaitkan dengan demokrasi akan merangsang pertumbuhan ekonomi untuk kedua sampel negara besar dan kelompok yang lebih kecil dari negara-negara berkembang. Dibandingkan dengan karya-karya lain, inovasi di sini adalah berdasarkan analisis efek gabungan dari demokrasi dan keterbukaan modal terhadap pertumbuhan ekonomi. Lembaga-lembaga politik dapat mempengaruhi kinerja ekonomi Negara. Mengingat konteks demokrasi untuk memahami pertumbuhan ekonomi. Konteks politik dalam batas tertentu mempengaruhi mekanisme tertentu yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan, maka pembahasannya mencoba menganlisis dampak regional gelombang demokratisasi yang telah di capai Negara tertentu selama beberapa tahun seperti Mesir, Libya, Suriah, Maroko, Yaman dan lain. Demokrasi dapat menghasilkan efek pencapaian kebebasan yang luar biasa dan politik partisispasi warga dan berdampak pada isu-isu ekonomi.
2. Demokrasi, liberalisasi dan kegiatan ekonomi: review singkat dari literature.
Dailami (2000) negara-negara diklasifikasikan menjadi empat kelompok: tidak demokratis dan financial tertutup; demokratis dan terbuka finansial; sangat demokratis dan lebih terbuka finansial; dan sangat demokratis dan kurang terbuka finansial. Karena itu ia mengembangkan sebuah model logit untuk memperkirakan probabilitas dari setiap perubahan klasifikasi negara tertentu. Penulis memperkirakan model menggunakan metode kemungkinan maksimum dengan data cross sectional dari sampel 67 negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan sosial per pengeluaran dalam proporsi PDB memiliki dampak signifikan pada menjelaskan probabilitas suatu negara jatuh ke dalam kategori ketiga yang dijelaskan di atas (yang sangat demokratis dan lebih terbuka secara finansial). Hasil yang sama diperoleh dalam kaitannya dengan Klasifikasi pertama (tidak demokratis dan tertutup secara finansial), tetapi tidak dapat disimpulkan untuk klasifikasi perantara.
Gambaran analitis yang digariskan oleh penulis yang dikutip di atas adalah bahwa ketika melindungi terhadap risiko volatilitas arus modal, negara memilih tingkat internasional keterbukaan keuangan yang bertujuan untuk kesejahteraan sosial maksimum. Dalam konteks ini, demokrasi pemerintah memainkan peran penting dalam definisi kekhususan fungsi kesejahteraan sosial dengan cara yang konsisten dengan keinginan warganya untuk redistribusi, sebagai serta tingkat penghindaran risiko. Konteks politik telah menjadi objek studi untuk penulis untuk memahami konsekuensi dari proses integrasi keuangan. Dimulai dengan temuan bahwa tidak ada konsensus umum dalam literatur tentang efek akun modal keterbukaan pada kegiatan ekonomi; dan serangkaian karya menyarankan bahwa demokrasi dan liberalisasi yang sangat terkait; isu sentral untuk bagian berikut adalah untuk memastikan apakah manfaat yang diperoleh melalui modal akun keterbukaan dalam hal pertumbuhan ekonomi yang lebih besar sebagai bangsa menjadi lebih demokratis.
3. Data dan Metode
Penelitian dilakukan antara tahun 1990 sampai 2010 karena proses integrasi keuangan dalam ekonomi global dari tahun 1990-an. Estimasi dilakukan menggunkan data panel dengan jumlah sampel 77 negara dan di bagi dalam 4 periode waktu: 1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010. Keuntungan dari penggunaan data tersebut adalah 1) dapat mengontrol hetrogenitas, 2) memberikan informs lebih lanjut dan variabilitas, 3) lebih baik untuk mempelajari dinamika penyesuaian 4) mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak terdeteksi di cross section. Tujuan utama adalah untuk menganalisa apakah konteks politik penting untuk memahami efek keterbukaan akun modal pada tingkat pertumbuhan PDB riil perkapita. Variable yang digunakan
a. Variable dependen : tingkat pertumbuhan PDB riil perkapita (Y)
b. Logaritma dari tingkat rata-rata fertilitas antara setiap sub periode (FERT)
c. Logaritma dari GDP riil per kapita pada awal setiap sub periode (GDP).
d. Logaritma rata-rata pembentukan modal bruto terhadap GDP selama sub periode yang berbeda (INV).
e. Proxy dari modal yang diwakili oleh logaritma jumlah modal masuk dan keluar dalam pembentukan modal asing dan portofolio dalam akun GDP (CaOPEN).
f. Logaritma rata-rata pengeluaran pemerintah dalam hubungannya dengan GDP di setiap sub periode (GOV).
g. Variable HCa merupkan rata-rata lamanya sekolah individu pada awal setiap sub periode.
h. DEM merupakan proxy dari demokrasi.
i. DEMxCaOPEN adalah variable interaksi antara keterbukaan modal dan demokrasi.
Model dari estimasinya adalah: Ygrowth = a+b1GDP + b2I NV +b3FERT + b4CaOPEN +b5GOV + b6HCa+b7DEM+b8DEMxCaOPEN + ei
4. Hasil dan pembahasan
Tidak ada hasil yang pasti tentang efek integrasi keuangan pada pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada Negara berkembang. Konteks politik menjadi bagain yang penting dalam memahami efek keterbukaan modal pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena sampai pada batas tertentu, tingkat kebebasan keterbukaan modal adalah pilihan politik sehingga harus mempertimbangkan hubungan positif antara demokrasi dan keterbukaan modal.
Grafik diatas menunjukan evolusi keterbukaan neraca modal dan indicator demokrasi dari tahun 1990. Nilai yang lebih rendah menunjukakan bahwa Negara lebih demokratis. Keterbukaan neraca modal mulai berkembang sejak pertengahan 1990 an dan terjadi penurunan pada tahun 2007 dan 2009 akibat krisis global. PDB riil perkapita pada awal setiap periode negative dan signifikan karena adanya konvergensi. Tingkat fertilitas adalah negative dan signifikan. Pembentukan modal tetap bruto sesuai dengan hasil yang diharapkan. Namun dalam model pooled OLS ini tidak singnifikan. Valiabel pengeluaran pemerintah sesuai dengan yang diharapkan tetepi tidak signifikan. Pendidikan menunjukan hasil yang negative dan tidak signifikan. Berdasarkan OLS dan model fix-effect tanpa memperhatikan endogenitas menunjukan bahwa keterbukaan modal ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi bebas dari level demokrasi. Ketika endogenitas diperhitungkan, keterbukaan akun modal menghasilkan efek pertumbuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat demokrasi. Dalam hal ini keterbukaan neraca modal hanya memiliki efek yang positif pada negaradengan tingkat demokratis >0.75 (Negara sangat demokratis) Untuk negara-negara berkembang, integrasi keuangan menghambat laju pertumbuhan ekonomi terlepas dari tingkat demokrasi masing-masing Negara serta investasi dalam modal manusia penting dalam mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi. Untuk pembuat kebijakan di Negara-negara yang tingkat demokrasinya cukup tinggi, keterbukaan neraca modal penting untuk pertumbuhan ekonomi.
5. Pertimbangan akhir
Pada pertengahan tahun 1970an beberapa Negara sudah berinteraksi financial secara global, akan tetapi hanya dari tahun 1990an liberalisasi keuangan mulai menjadi bagian dari dinamika ekonomi sejumlah Negara. Banyak ekonom teoritis berpendapat bahwa membawa manfaat bagi semua Negara. Demokrasi menjadi pusat lembaga-lembaga yang dianggap penting mengingat konteks politik yang menjadi elemen penting dalam memahami proses integrasi keuangan, estimasi model berusaha untuk memastikan apakah
neraca modal keterbukaan bermanfaat bagi negara yang lebih demokratis dalam hal ekonomi pertumbuhan. Menggunakan data panel (1990-2010) untuk sampel dari 77 negara, hasilnya bahwa ketika fixed efek dan endogenitas dianggap, efek keterbukaan akun modal hanya positif bagi negara-negara yang indeks demokrasi di atas 0,75, yaitu, untuk negara-negara yang sangat demokratis. Namun, ketika estimasi yang sama yang dibuat dengan sampel 50 negara-negara berkembang, hasilnya berbeda. Dalam hal ini, proxy untuk integrasi keuangan adalah negatif dan signifikan, meskipun interaktif tidak signifikansi secara statistik. Saran dari makalah ini untuk penelitian lebih lanjut adalah digunakan uji ketahanan variable interaktif yang telah ada.Perubahan rezim politik akan mempengaruhi efek keterbukaan akun modal, hasilnya kan lebih menarik jika menggunakan tingkat bukan laju untuk variabel dependen dan independen dengan struktur variable yang ada tetap dipertahankan.
6. Advantages and Disadvantages
- Advantages
Dalam jurnal ini menggunakan analisis efek gabungan dari demokrasi dan keterbukaan modal terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisis dalam pembahasanya juga lebih menganalisis pada dampak regional demokratisasi yang telah dicapai oleh suatu Negara sehingga diperoleh efek liberalisasi, partisipasi masyarakat dalam politik. Sampel yang digunakan dalam analisis ini juga dibedakan dalam Negara besar dan Negara berkembang sehingga hasil analisis menjadi lebih baik. Dalam analisis yang dilakukan juga dibagi kedalam beberapa periode waktu hal ini menjadikan hasil analisis menjadi lebih baik karena akan lebih mudah dipahami kejadian-kejadian yang terjadi dalam fluktuasi gelombang ekonomi misalnya saja seperti adanya kasus krisis. Selain itu dalam pengujian analisis pada jurnal ini menggunakan pengujian variable interaktif.apakah efek liberalisasi ekonomi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung pada tingkat demokrasi.
- Disadvantages
Dalam analisis yang dilakukan pengambilan sampel antara Negara maju dan Negara berkembang kurang proporsional. Selain itu jurnal ini tidakn menggunakan variable rezim politik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Metode Pengujian Organoleptik

kali ini saya akan share materi mengenaai metode pengujian ornganoleptik. barangkali bermanfaat buat teman-teman, soalnya tempo dulu saat saya belajar di sekolah masih harus mengulang beberapa kali alias remidi hehe 
nah ini dia materinya : 

Metode Pengujian Organoleptik 

Pengujian organoleptik mempunyai macam-macam cara. Cara-cara pengujian itu dapat digolongkan dalam beberapa kelompok. Cara pengujian yang paling populer adalah kelompok pengujian pembeda an (defference tests) dan kelompok pengujian pemilihan (preference tests). Di samping kedua kelompok pengujian itu, dikcnal juga pengujian skalar dan pengujian deskripsi. Jika kedua pengujian pertama banyak digunakan dalam penelitian, analisis proses, dan penilaian hasil akhir, maka dua kelompok pengujian terakhir mi banyak diguna kan dalam pengawasan mutu (quality control). Diluar 4 kelompok pengujian itu masih ada uji-uji sensorik lain, termasuk di sini adalah uji konsumen.Suatu hal yang sangat penting dalam pengujian, terutama dalam pengujian pemilihan dan skalar, adalah contoh pembanding. Jika contoh pembanding diberikan, yang perlu diperhatikan bahwa yang terutama dijadikan faktor pembanding adalah satu atau lebih sifat sensorik dan bahan pembanding itu. Karena itu, sifat lain yang tidak dijadikan faktor pembanding harus diusahakan sama dengan contoh yang diujikan. Hal mi penting agar panelis tahu sensorik apa yang diujikan dan tidak terjadi kekeliruan atau salah paham antara penge lola pengujian dan panelis.Contoh pembanding mi dapat secara fisik turut disuguhkan dalam pelaksanaan pengujian tetapi dapat pula tidak disuguhkan. Dalam hal terakhir mi contoh pembanding hanya dideskripsikan dan sifat sifat sensorik yang dijadikan adalah sif at yang sudah dikenal betul oleh panelis. Dalam hal mi panelis diminta mengingat kembali sifat itu dan mencamkan bctul-betul sebelum melakukan penginderaan. Sebagai contoh pembanding dapat digunakan komoditi baku, komoditi yang sudah dipasarkan atau bahan yang telah diketahui sif at sifatnya.
A. PENGUJIAN PEMBEDAAN
Pengujian pembcdaan digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan sifat sensorik atau organoleptik antara dua contoh. Meski pun dalam pengujian dapat saja sejumlah contoh disajikan bersama tetapi untuk melaksanakan pcmbedaan selalu ada dua contoh yang dapat dipertentangkan.Uji-uji mi digunakan untuk menilai pengaruh macam-macam perlakuan modifikasi proses atau bahan dalam pengolahan pangan bagi industri, atau untuk mengetahui adanya perbedaan atau persa maan antara dua produk dan komoditi yang sama. Yang terakhir mi terutama dan segi konsumen.Untuk mempertentangkan contoh-contoh yang diuji dapat meng gunakan bahan pembanding (reference) tetapi dapat pula tanpa bahan pembanding. Jika kita berminat hanya pada ada atau tidak ada perbedaan antara dua contoh produk maka bahan pembanding tidak pcrlu. Sebaliknya jika kita berminat pada pengaruh suatu perlakuan maka diperlukan bahan pembanding. Pembedaannya dapat mempunyai arah atau tanpa arah. Pembedaan berarah jika dalam pembedaan contoh-contoh itu disertai arah perbedaan yaitu, lebih kecil atau lebih besar dan bahan baku. Jika pembedaan itu tidak berarah tidak perlu disertai pernyataan lebih yang satu terhadap yang lain; cukup kalau dapat menyatakan bahwa pcrbedaan itu ada. Jika dalam pembedaan itu diguriakan bahan pembanding (reference) maka sifat-sifat organoleptik yang ingin dibedakan harus betul-betul jelas dan dipahami para panelis. Keandalan (reliability) dan uji pembedaan tergantung dan pengenalan sifat mutu yang diinginkan, tingkat latihan, dan kepekaan masing-masing anggota panelis.Jumlah anggota panelis mempengaruhi derajat keandalan hasil pengujian. Meskipun dernikian uji pembedaan yang dilakukan seca ra saksama dengan menggunakan panelis yang terlatih akan mem- berikan hasil pembedaan yang jauh lebih baik daripada yang dilakukan tanpa menggunakan panelis terlatih meskipun dengan anggota panelis yang besar jumlahnya.Uji pembedaan biasanya menggunakan anggota panelis yang ber jumlah 15-30 orang yang terlatih. Dengan panelis demikian biaya penyclenggaraan Iebih kecil dan hasil pengujiannya cukup peka. Segi kerugiannya ialah bahwa hasil pengujiannya tidak dapat mem ben petunjuk apakah perbeciaan itu dikehendaki atau tidak.Macam-macam uji pembedaan
1. Uji pasangan
Uji pasangan juga disebut paired comparison, paired test atau dual corn paration. Cara pengujian mi termasuk paling sederhana dan paling tua, karena itu juga sering digunakan. Dalam pengujian de ngan uji pasangan, dua contoh disajikan bersamaan atau berurutan dengan nomor kode berlainan. Masing-masing anggota panel diminta menyatakan ada atau tidak ada perbedaan dalam hal sifat yang d ujikan. Agar pengujian mi cfektif, sifat atau kriteria yang diujikan harus jelas dan dipahami paneis.Ada dua cara uji pasangan yaitu dengan dan tanpa dengan bahan pembanding (reference). Dan dua contoh yang disajikan yang satu dapat merupakan bahan pembanding atau sebagai kontrol sedang kan yang lain sebagai yang dibandingkan, dinilai atau yang diuji. mi dilakukan misalnya membandingkan hasil cara pengolahan lama sebagai contoh baku atau pembanding dan hasil cara pengolahan baru yang dibandingkan atau dinilai. Dalam hal uji pasangan dengan pembanding, bahan pembanding dicicip lebih dulu baru contoh ke dua. Tetapi dapat juga dua contoh itu tidak mempunyai bahan pem banding. Misalnya membandingkan 2 macam hasil dan dua daerah. Dalam hal mi ingin diketahui atau dinilai ialah ada atau tidak ada nya perbedaan sifat basil dan kcdua daerah itu. Dalam uji pasangan, pengujian dapat dianggap cukup jika panelis telah dapat menyatakan ada atau tidak adanya perbedaan. Dalam uji pasangan tanpa bahan pembanding kedua contoh itu disajikan secara acak. Di samping itu pengelola pengujian dapat pula meminta keterangan lebih lanjut pada para panelis untuk menyatakan lebih lanjut tingkat perbedaan. Ting kat perbedaan dapat dinyatakan, misalnya: perbcdaan sedikit, Se dang, banyak.Meskipun uji pasangan itu sederhana penyelenggaraannya, tetapi tidak mudah dalam memberi interpretasi hasil analisisnya. Karena hanya 2 contoh disajikan bersama-sama maka chance of probability dan masing-masing contoh untuk dipilih adalah V2 atau 50%. Ke simpulan tidak dapat diambil jika panelisnya sedikit. Jumlah panelis yang dibutuhkan biasanya di atas 10 orang.



2. Uji segitiga (triangle test)
Uji segitiga digunakan untuk mendeteksi perbedaan yang kecil. Peng ujian mi lebih banyak digunakan karena lebih peka daripada uji pasangan. Uji mi mula-mula diperkenalkan oleh 2 ahli statistik Den mark pada tahun 1946. Dalam pengujian mi kepada masing-masing panelis disajikan secara acak 3 contoh berkode. Pengujian ketiga contoh itu biasanya dilakukan bersamaan tetapi dapat pula berurut an. Dua dan 3 contoh itu sama dan yang ketiga berlainan. Panells diminta memilih satu di antara 3 contoh yang berbeda dan 2 yang lain. Dalam uji mi tidak ada contoh baku atau pembanding.

Dalam memberi penilaian tidak boleh ragu-ragu, hams memilih atau menerka salah satu yang dianggap paling berbeda. Demikian pula jika panclis tidak dapat membedakan ketiga contoh tersebut. Karena 3 contoh sekaligus maka hams disiapkan agar ketiga ukuran, bentuk, warna atau sifat-sifat contoh yang tidak dimiliki dibuat sama. Sebagaimana halnya uji pasangan, dalam uji segitiga dapat pula ditanyakan lcbih lanjut tingkat perbedaan. rrctapi hasil mengenai tingkat perbedaan tidak lagi peka atau kurang meyakinkan. Dalam uji segitiga kescragaman ketiga contoh sangat penting agar dapat dihindari pengaruh penyajian.Di dalam pelaksanaan uji segitiga, panelis diminta mcmilih satu di antara 3 contoh yang berbeda dengan yang lain. Karena contoh yang dinilai ada tiga maka peluang secara acak adalah 1/3 atau331/3%.3 Uji duo-trioUji mi scpcrti halnya pada uji segitiga, tiap-tiap anggota panel disajikan 3 contoh, 2 contoh dan bahan yang sama dan contoh ketiga dan bahan yang lain. Bedanya ialah bahwa salah satu dan 2 contoh yang sama itu dicicip atau dikenali dulu dan dianggap sebagai con toh baku, sedangkan kedua contoh lainnya kemudian. Dalam penyu guhannya ketiga contoh itu dapat diberikan bcrsamaan. Atau contoh bakunya diberikan lcbih dulu baru kemudian kedua contoh yang lain disuguhkan.



Dalam pelaksanaan uji, panelis diminta untuk memilih satu di antara2 contoh tcrakhir yang sama dengan contoh baku atau pembanding.Karena contoh yang dinilai ada dua maka peluang secara acak adalah‘/2 atau 50%.
4. Uji pembanding ganda (dual standards)
Uji pembanding ganda juga disebut dual sMndards. Bentuk penguji an pcmbanding ganda menyerupai uji duo-trio. Jika pada uji duo- trio digunakan satu contoh baku sebagai pembanding maka pada uji pembanding ganda digunakan dua contoh baku sebagai pemban ding yaitu A dan B. Kedua contoh pembanding itu disuguhkan ber samaan sebelum contoh-contoh yang akan diuji diberikan. Panelis diwajibkan mengenali dan mengirigat sifat-sifat sensonik kedua contoh pembanding yang diujikan, misalnya jika baii tengik yang diujikan maka panelis harus sudah betul-betul mengenali dan hafal bau tengik itu dan pembauan. Setelah semua panelis yang akan melaksa nakan uji bau itu betul-betul mengetahui bau tengik pada contoh pembanding, barulah dua contoh yang diujikan disuguhkan secara acak.Dalam pengujian mi panelis diminta menyebut yang mana dan kedua contoh yang diujikan sama dengan pembanding A dan yang mana yang sama dengan pembanding B. Uji mi balk untuk membe dakan bau-bauan atau sifat bau komoditi. Di samping itu uji mi juga baik digunakan untuk memilih suatu tim panelis yang akan diguna kan sebagai panel penguji pembedaan. Karena jumlah contoh yang dinilai ada dua maka peluang secara acak adalah ‘/2 atau 50%.



5. Uji pem banding jamak (muitp!e standards)
Uji pembanding jamak juga disebut multiple standards. Dalam uji pembanding janiak digunakan 3 atau Iebih contoh pembanding.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS